Topik sensi di medsos kini: anggota TNI aktif jadi Pj kepala daerah. Sensi-tif, ingat dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Topik sensi itu jadi ”ringan” di debat Menko Polhukam Prof Mahfud MD versus Said Didu di Twitter: ”Au ah elap”.
----------- DEBAT bersumber ini: Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Sulawesi Tengah Brigjen TNI Chandra As’aduddin ditunjuk sebagai penjabat (Pj) bupati Seram Bagian Barat. Itu diributkan banyak orang. Anggota TNI aktif kok bisa jadi Pj kepala daerah? Khawatir, jangan-jangan mengarah ke dwifungsi ABRI, zaman dulu. Dwifungsi ABRI (kini TNI) intinya: Tentara yang masih aktif jadi kepala daerah. Arah yang lebih jauh lagi: Negara militer. Lalu Mahfud, yang mantan ketua Mahkamah Konstitusi, menjelaskan dasar hukumnya. Secara detail. Tapi, via medsos. Dengan tulisan (kata) yang tidak diedit, begini: ”TNI yg msh aktif di kesatuannya (di bawah Mabes TNI/POLRI) tak blh jd Penjabat Kepala Daerah. Tp kalau TNI/POLRI yg sdh ditugaskan di institusi di luar induknya spt. di Kemko Polhukam, BIN, BNPT, BSSN, BNN, MA, dll bs jd Penjabat Kepda. Itu ada di putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Makanya akan sy cek.” Tahu-tahu, Said Didu mengomentari itu di Twitter: ”Au ah elap”. Hebatnya, Mahfud menanggapi balik cuitan Said. Mungkin, mengingat Said Didu mantan pejabat negara (sekretaris Kementerian BUMN, 2005 – 2010). Mahfud pun merasa perlu komen balik, begini: ”Mengapa au ah elap? Isi beritanya kan TNI aktif? Tp judulnya lain, seakan semua TNI/POLRI tak blh. Padahal di putusan MK disebut bhw anggota TNI/POLRI yg sdh ditugaskan institusi birokrasi ttp di luar Mabes, blh jd Penjabat. Anda tdk membaca 2 hal: 1) isi berita; 2) Vonis MK.” Belum ada balasan lebih lanjut dari Said, sampai Selasa (24/5) malam. Meski sesama pejabat dan mantan pejabat, Mahfud jauh lebih unggul. Dari segi ilmu hukum. Sebab, topik bahasan, jelas masalah hukum. Uniknya, Said sudah tahu kalah pengetahuan soal hukum lawan Mahfud masih juga komentar seenteng itu. Ternyata bukan hanya Said yang menyoal. Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa kepada wartawan, Selasa (23/5), mempertanyakan: ”Ini kan ada kekhawatiran. Misalnya, terkait anggapan yang lalu, tentang nanti lahirnya TNI-Polri masuk ke ranah-ranah sipil. Dulu ada dwifungsi, hal-hal seperti itu ada kekhawatiran kembali muncul. Hal-hal seperti ini tentu harus dihindari.” Dilanjut: ”TNI aktif memang tidak boleh, polisi aktif tidak boleh. Purnawirawan yang boleh menjabat.” ”Karena MK (Mahkamah Konstitusi) sudah memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan penunjukanPpj. Sebaiknya supaya tidak mengalami problem seperti hari ini, pemerintah sebaiknya membuat turunan dari pertimbangan MK. Dalam bentuk peraturan tertulis secara formal agar proses penunjukan ini bisa dilakukan secara transparan dan prinsip-prinsip demokrasinya bisa dikedepankan.” Legislator itu menyebut MK, lembaga yang pernah dipimpinan Mahfud. Sementara itu, Mahfud sendiri sudah menegaskan, tidak ada masalah anggota TNI aktif ditunjuk jadi Pj kepala daerah. Asalkan, ia tidak bertugas di induknya (Mabes TNI atau jajaran di bawahnya). Kalau legislator begitu, apalagi ormas. Juga menyoal itu. Ormas menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas beberapa ormas, senada, menyoal itu. Dalam rilis yang disebarkan Selasa (24/5) dinyatakan begini: ”Pada Putusan MK No 67/PUU- XIX/2021, MK mengingatkan pentingnya klausul ’secara demokratis’ tersebut dijalankan. Dalam implementasinya, MK juga memerintahkan agar pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, termasuk transparansi.” Balik ke MK. Atau, mungkin orang-orang yang bersuara ke pers itu tidak membaca teliti, masalah seperti yang dijelaskan Mahfud. Kendati, tren politik ke arah pelibatan TNI-Polri (aktif) agar jadi kepala daerah seperti sengaja didorong. Bukti, muncul juga wacana agar Kapolda Metro Jaya Irjen Muhammad Fadil Imran menjadi Pj gubernur DKI Jakarta menggantikan Anies Baswedan yang akan pensiun Oktober 2022. Dorongan itu awalnya dilontarkan anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Gerindra Mohamad Taufik. Lantas, diikuti anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia William Aditya. Tapi, tokoh yang didorong tidak bersedia. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil kepada pers, Selasa (24/5), mengatakan: ”Saya tidak berminat, catat itu. Masih banyak PR yang harus saya selesaikan untuk menjaga Jakarta.” Dilanjut: ”Dan saya masih ingin membantu Kapolri untuk mewujudkan Polri yang Presisi, Polri yang lebih baik. Terima kasih.” Anggota TNI-Polri aktif didorong jadi kepala daerah. Sebagaimana zaman Orde Baru, semua kepala daerah setingkat gubernur, wali kota/bupati, bahkan sampai camat dan kepala desa, anggota ABRI aktif atau pensiunan ABRI. Disebut dwifungsi ABRI. Dengan begitu, di zaman itu, stabilitas keamanan terjamin. Kepala daerah yang ABRI, pastinya level perwira tinggi, sudah terdidik disiplin dan tegas. Negara aman terkendali. Kondisi itu berubah sejak era Reformasi 1998. Bersamaan jatuhnya Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Membuat dwifungsi ABRI dihapus. Dan, semua pihak sudah sepakat. TNI kemudian konsentrasi pada pengamanan negara dari kemungkinan musuh asing. Polri konsentrasi memelihara kamtibmas sehari-hari. Tapi, mengapa kini ada tren balik seperti dulu? Apakah para pemangku negara menilai, bahwa kondisi politik Indonesia sekarang membutuhkan pemimpin dari TNI-Polri aktif? Mengapa? Apa indikasinya? Balik ke debat Mahfud versus Said Didu yang beberapa kali terjadi belakangan ini (terakhir soal LGBT) mungkin saja terkait ini. Dengan demikian, meski jawaban asal-asalan Said, ia anggap perlu dilontarkan. Buktinya, Mahfud juga merasa perlu membalas komen yang asal-asalan tersebut.Apakah di situ pusaran konfliknya? Atau latar belakang di balik itu? Masyarakat sedang menyimak di medsos. Yang begitu transparan. (*)