Sebelum pandemi, Radian Jadid sudah biasa menemani kelompok marginal, masyarakat miskin, hingga korban bencana. Setelah dipercaya sebagai koordinator Relawan Pendamping Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) Jatim tahun lalu, ia makin jarang pulang. Apalagi, Rumah Isolasi Orang Tanpa Gejala (OTG) di Bangkalan juga memerlukan tenaga, waktu, dan pikirannya.
---
APAKAH istrinya tidak protes ditinggal terus? Pertanyaan itu saya lontarkan ke salah seorang patriot Jatim pilihan pembaca Harian Disway Edy Sukotjo saat berkunjung ke rumahnya Minggu (15/8).
Edy kenal betul dengan Jadid dan istrinya. Ia mendapat pembekalan ilmu dari Jadid saat menjadi pasien RSLI akhir Juni tahun lalu. Setelah lulus dari RSLI, hubungan mereka tetap erat melalui grup penyintas di WhatsApp.
Berkat Jadid, Edy ditunjuk sebagai ketua Komunitas Ikatan Alumni Penyintas Covid-19 Jatim. PNS Dinkes Jatim itu bahkan dilantik oleh bos besarnya di Pemprov Jatim: Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Menurut Edy, istri Jadid tidak akan marah jika suaminya sering terjun ke lapangan membantu penanganan Covid. ”Lha, istrinya juga aktivis. Wong loro iku klop (Dua orang itu cocok, Red),” kata Edy.
Jadid tersenyum ketika saya ceritakan percakapan itu kemarin (17/8). Siti Pramesthi, sang istri, adalah teman satu angkatan (1993) di ITS dulu. Jadid jurusan teknik elektro PENS-ITS dan istrinya matematika.
Sang istri ikut turun bersama Jadid saat ada pasien yang ditolak lingkungannya. Misalnya, dalam kasus pengusiran penghuni kos bernama Satya di Rungkut. Jadid dan istrinya membela mati-matian penyintas dan pasien yang mendapat diskriminasi dari lingkungannya. Mereka berdua tak ingin stigma negatif tentang penyintas Covid-19 makin menjadi-jadi. Berkat pengetahuan dan kemampuan komunikasi mereka, banyak penyintas yang diterima kembali oleh lingkungannya.
”Istri sekarang ngajar di Sekolah Rakyat (SR) Kejawan,” ujar Jadid seusai memimpin upacara bendera di RSLI kemarin. Di sekolah nonformal itu, Jadid jadi kepala sekolah.
Ia merelakan halaman rumahnya di Kejawan Putih BMA No 33 sebagai tempat bimbingan belajar sejak 25 April 2011. Sudah lebih dari 10 tahun dan masih beroperasi sampai sekarang. Awalnya hanya ada delapan murid yang didampingi. Namun, jumlahnya berlipat ganda seiring waktu.
Kini masih ada 104 murid dari SD hingga SMA/SMK yang bergabung ke SR Kejawan. Les dan pendampingan belajar gratis di tengah pandemi sangat mereka butuhkan. Sebab, belajar daring di sekolah formal sangat tidak efektif. Untung, Jadid tidak sendiri. Banyak mahasiswa ITS yang ikut membantunya jadi relawan bimbel.
Jadid menyediakan internet gratis. Siswa yang tidak punya gawai juga dipinjami laptop dan tablet. Jadid menyisihkan sebagian pendapatannya dari usaha percetakan yang ia tekuni sejak jadi mahasiswa 28 tahun yang lalu untuk operasional sekolah.
Ada donatur yang membantu SR itu dalam bentuk buku, uang, atau perangkat belajar online yang kini sangat dibutuhkan. Para dermawan ingin membantu Jadid mewujudkan target siswa: minimal ranking 10 besar di sekolah formalnya.
Saat pandemi menyerang, suami istri itu berbagi tugas sosial. Pengelolaan SR ada di tangan istri, sementara Jadid bisa fokus di RSLI. ”Seharusnya tugas saya selesai Juli kemarin. Tapi, diperpanjang enam bulan lagi,” kata pria kelahiran Magetan, 29 September 1975, itu.