Justine Novita D.S punya banyak kenangan tentang mendiang suami, Juniarto Dwi Nugroho. Yang paling menyenangkan adalah ketika mereka bepergian berdua saja ke Semarang. Tiga tahun silam. Mengunjungi Kelenteng Sam Po Kong, Lawang Sewu, dan sebagainya. Berikut cerita Justine.
SUAMIKU memang telah berpulang ke sisi Bapa. Tanggal 7 Juni 2020, dua belas hari sebelum hari ulang tahunnya. Tiap kali aku menangis ketika parasnya berulang kali melintas di benakku. Apalagi 45 hari setelah dipanggil Tuhan, suamiku datang dalam mimpi dan memelukku.
Ia memang romantis. Pergi kemanapun selalu menggenggam tanganku. Genggaman tangannya semakin kuat ketika kami pergi ke mal. Pernah kutanyakan alasannya. ’’Kalau tidak digandeng, kamu bisa belanja kemana-mana,’’ jawabnya, lalu terkekeh. Mendiang suamiku humoris. Tapi tertawanya irit. Meski begitu, senyum tak pernah hilang dari bibirnya.
Aku masih ingat ketika kurengkuh pundaknya dengan mesra, saat kami berjalan-jalan menyusuri kota Semarang. Sebelumnya, pada 2010 kami pernah kesana bersama rombongan RT. Meski sebentar, tapi berkesan. Kota Semarang sangat indah. Aku dan suami sepakat mengunjunginya lagi. Berdua saja. Baru terealisasi setelah Paskah 2018.
Kami berangkat dari stasiun Sidoarjo, naik kereta Maharani. Tarifnya 49 ribu per orang. Perjalanan memakan waktu sekitar 7 jam. Suamiku lebih banyak tidur di kereta. Kalau sudah lelap, ia susah sekali dibangunkan. Tubuhnya harus digoyang-goyang beberapa kali.
Soal tidur, ia punya pengalaman konyol. Ketika masih mahasiswa, ia naik kapal dari pelabuhan Gilimanuk ke Ketapang. Seorang diri. Ia tidur sepanjang perjalanan hingga kapal sampai di Ketapang. Semua penumpang turun. Suamiku tidak. Ia terus tertidur hingga kapal berlayar kembali ke Gilimanuk.
Karena itu aku selalu menjaganya ketika ia tidur. Sesampai di stasiun Poncol, Semarang, seperti kuduga, aku susah payah membangunkannya. Hari sudah sore. Kami mencari hotel, dan menemukannya di area Jalan Pandanaran. Dekat wisata Lawang Sewu. Setelah meletakkan barang-barang, kami lanjut jalan-jalan sekaligus wisata kuliner di Pasar Semawis. Beragam jajanan kami nikmati. Termasuk pisang plenet. Kuliner khas Semarang.
Setelah kenyang, kami berjalan kaki hingga Lawang Sewu. Bangunan bersejarah yang katanya angker. Tapi ketika kami melihatnya sendiri, kesan angker langsung hilang. Bangunan itu telah direnovasi. Catnya baru. Plus dihias lampu-lampu kekinian. Saat malam, malah banyak pengunjung berdatangan.
Tak ada rasa takut sedikitpun, karena suasananya telah berubah. Suamiku juga suka. Ia mengambil kertas A4 dan pensil. Maklum, ia pelukis. Saat itu ia ingin mensketsa Lawang Sewu dari samping. Sedangkan aku asyik melihat-lihat arsitekturnya yang menawan.
Esok paginya, suamiku bangun lebih dulu. Ia membangunkanku. Aku duduk dan kubaca doa Salam Maria. Usai membacanya, terdengar ramai-ramai di luar penginapan. Kuintip jendela. Ternyata, sedang ada karnaval Paskah! Kami bergegas turun dan melihat jalanan. Rupanya anak-anak sekolah Kristen dan Katolik se-Semarang mengadakan karnaval Paskah tahunan.
Seketika kami punya ide untuk mengunjungi GPIB Immanuel Semarang. Orang menyebutnya Gereja Blenduk. Kami naik transportasi umum ke sana. Jaraknya dari Pandanaran sekitar setengah jam. Arsitekturnya khas Eropa dengan atap melengkung gemuk. Paduan arsitektur khas Renaissance dan Baroque. Katanya, gereja tersebut memang dibangun pada era kolonial.