Berarti apakah Upin-Ipin melakukan propaganda putih? Yakni dengan sengaja menampilkan sisi positif negerinya untuk distract attention from problematic events ?
Pesan dari Les Copaque—setidaknya menurut saya—sudah menjadi jawaban yang cespleng. Bahwa Upin-Ipin bukan propaganda. Ia adalah sebuah tontonan dengan—dalam bahasa mereka— so many moral values as well as life lessons .
Nilai moral yang diangkat melalui Upin-Ipin juga menyenangkan. Bocah-bocah itu tidak ditampilkan sebagai sosok sempurna tanpa dosa dengan tutur bahasa terjaga sampai bisa memberi nasihat pada orang tua. Mereka juga tidak lantas mengutip kitab-kitab suci secara terang-terangan. Ingat, betapa multikulturalnya Kampung Durian Runtuh.
Anak-anak itu tetap nakal. Sering mengganggu Kak Roos. Sesekali juga bertengkar. Tetapi, nilai moral itu tetap muncul. Tanpa harus mendapat bungkus yang berlebihan. Apalagi dibungkus dengan wajah agama tertentu.
Dalam bukunya, Film sebagai Gejala Komunikasi Massa (2019), Redi Panuju mengatakan bahwa film bisa tetap punya fungsi edukatif tanpa mengorbankan aspek cerita dan sinematografinya. Film itu tetap bisa tampil sebagai sebuah tontonan yang elok dengan aspek edukasi yang bersifat persuasif tanpa menggurui.
Dan itulah yang dicontohkan oleh Upin-Ipin.
Apakah sineas kita bisa membuat tontonan seperti itu? Punya nilai moral tanpa harus mengkhotbahi? Punya nilai edukasi tanpa harus menggurui? Asyik sebagai tontonan tanpa kehilangan makna?
Pasti bisa.
Sebab, dulu pun kita sudah punya tontonan seperti itu. Tentang sebuah desa bersahaja dengan penduduk multikultur dan asyik: Film Boneka Si Unyil…! (*)
*) Doan Widhiandono adalah penulis Harian Disway, dosen prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, dan mahasiswa program doktor Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga.