BAGAIMANA masa depan Asia Tenggara setelah pandemi? Isu itu tadi malam dibahas oleh pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim dan Founder Harian Disway Dahlan Iskan. Mereka bertemu di acara webinar yang diadakan oleh Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI).
Pembicara lainnya yakni alumus KAMMI Fahri Hamzah dan Ketua KAKAMMI Rahman Toha Budiarto. Anwar memprediksi, setelah pandemi Covid-19, akan terjadi ketimpangan sosial di kawasan Asia Tenggara. Persoalan terbesar adalah masalah ekonomi dan pendidikan.
Menurut Anwar, kondisi itu sama seperti di tahun 1948. Ketika penyakit tifus menjadi epidemi. Bahkan ketika tifus sudah menjadi endemi, permasalahan kesenjangan sosial masih saja terjadi. "Kesenjangan dan kemiskinan tetap ada. Semakin lebar," ungkap Presiden Partai Keadilan Rakyat itu.
Founder Harian Disway Dahlan Iskan mengatakan, di Indonesia pendapatan per kapita merosot karena pandemi. Berada pada level USD 4 ribu. Padahal Dahlan pernah membayangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2029 bisa mencapai USD 12 ribu per kapita dalam setahun.
Asia Tenggara, kata Dahlan, akan terbagi dalam beberapa kelompok. Ada kelompok komunis yakni Vietnam, Laos, dan Kamboja. Kemudian kelompok Indonesia dan Malaysia. Myanmar satu kubu dengan Thailand. "Sedangkan Singapura berdiri sendiri," ujar mantan menteri BUMN itu.
Asia Tenggara, lanjut Dahlan, harus bisa memanfaatkan Tiongkok. Sebab, Tiongkok saat menjadi negara yang ekonominya paling pesat. Dahlan mengibaratkan Tiongkok sebagai vacuum cleaner. Negara itu begitu kaya dan siap menampung apa-pun. "Sedangkan Indonesia merupakan batu yang besar. Sehingga sulit disedot," ungkap Dahlan.
Alumnus KAMMI Fahri Hamzah justru mempertanyakan mengapa Islam hilang di saat krisis. Padahal Islam bisa menjawab berbagai persoalan. Bahkan di masa pandemi seperti ini pemeluk agama Islam kalah dengan ilmuwan.
"Misal umat muslim tidak bisa haji atau umrah karena ilmuwan melarang. Ide-ide agama dalam situasi seperti ini kurang mendapat tempat," ujar Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu. (Andre Bakhtiar)