Nama yang disebut terakhir adalah istri Ketua Umum PBNU Dr KH Said Aqil Siroj. Kiai lulusan Universitas Ummul Quro, Makkah, yang lulus doktor dengan predikat summa cum laude. Hafal Al-Qur’an dengan penguasaan kitab kuning, kitab klasik tentang Islam.
''PP Muslimat NU kini sudah punya cabang di London, Sudan, Arab Saudi, Jepang, Malaysia, Hongkong-Makau, Tiongkok, dan Taiwan,'' kata Nyai Nurhayati Said Aqil.
PP Muslimat NU sendiri dipimpin Ketua Umum Khofifah Indar Parawansa. Aktivis perempuan NU pertama yang menduduki jabatan publik sebagai gubernur Jawa Timur. Yang beberapa kali pernah menjadi menteri.
Pengurus dan anggota Muslimat di luar negeri kebanyakan ibu-ibu warga NU di negeri tersebut. Mereka umumnya mendampingi suami yang sedang bertugas di negara setempat. Juga, banyak dari kalangan pekerja migran Indonesia (PMI).
Dua puluh tahun lalu mungkin tidak pernah dibayangkan Muslimat NU punya cabang di London. Di salah satu pusat peradaban besar di bumi Eropa. Yang pengaruhnya besar di benua lainnya.
Muslimat NU kini telah panjat sosial. Pansos, istilah anak-anak muda sekarang. Masuk struktur kelas sosial baru yang lebih mengglobal. Bukan hanya menjadi kumpulan orang desa yang unggul dalam hal komunalitasnya.
Transformasi sosial Muslimat NU itu seiring dengan dinamika sosial yang terjadi di kalangan kaum santri. Kelompok masyarakat yang menjadi basis sosial NU sebagai kapal induk Muslimat. Kelompok yang dulu dikategorikan sebagai kaum tradisional.
Kelompok sosial yang mempunyai ikatan kuat dengan simpul pondok pesantren. Sebagian besar pesantren memang berkembang di pedesaan. Mereka menjadi tempat mendidik kaum santri tentang ilmu agama. Juga, membentuk karakter muslim yang khas Indonesia.
Namun, dinamika di luar NU telah juga mengubah konstruksi tentang warganya yang menjadi mayoritas di negeri ini. Akses terhadap pendidikan formal yang makin luas terhadap golongan itu telah melahirkan kelas sosial baru di NU.
NU tidak lagi semata-mata identik dengan kaum petani, pedesaan, dan kelompok masyarakat yang termarginalkan. Makin banyak kelompok santri profesional yang kemudian mengisi posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga ekonomi maupun pemerintahan.
Hadirnya kelompok baru di NU itulah yang mempercepat transformasi sosial di kelompok masyarakat yang dulu dikenal dengan nada ejekan sebagai kaum sarungan. Perilaku keagamaan yang sejak dulu sebenarnya sudah mengglobal kini makin mendunia.
Yang menarik, meski terjadi transformasi sosial yang begitu pesat di NU, karakter komunalnya masih sangat kuat. Institusi yang merawat hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Seperti yang terjadi di dalam Muslimat NU itu.
Semua itu membuat apa yang pernah dipikirkan cendekiawan muslim seperti Kutowijoyo dan Nurcholish Madjid menjadi kenyataan. Kunto sempat memikirkan bagaimana Islam menjadi penggerak perubahan. Yakni, perubahan yang berbasis nilai-nilai keagamaan.
Sedangkan Nurcholish sempat meramalkan makin kuatnya pengaruh kelompok muslim karena transformasi kaum santri itu. Kaum yang mempunyai dasar-dasar intelektual dengan penguasaan kuat terhadap kitab-kitab keagamaan yang klasik.
Tinggal bagaimana pansos kaum santri lewat pendidikan tersebut juga melahirkan kelompok baru dengan basis ekonomi yang kuat. Jika dua kelas sosial ekonomi baru di NU itu makin kuat, rasanya tak perlu risau dengan masa depan dunia.
Sungguh, pansos Muslimat NU kali ini mempunyai banyak arti. (*)