”Termasuk para wali dulu mendakwahkan agama Islam melalui pendekatan budaya. Salah satunya macapat. Selain itu, macapat juga memuat banyak pasemon atau petuah hidup, yang membentuk perilaku masyarakat Jawa,” terang pria 69 tahun itu.
Setelah memberikan sambutan, semua orang dengan khusyuk mulai menembang. Tembang pertama adalah macapat Santi Puji, berisi puja-puji dan bakti terhadap Tuhan. Kemudian selaras dengan tradisi macapat umumnya, lagu selanjutnya mengetengahkan mijil. Yakni macapat pasemon untuk anak-anak.
Dalam arti lebih dalam, menceritakan tentang kelahiran serta langkah awal manusia untuk proses belajar bertingkah laku baik. Dedalane guno lawan sekti/Kudu andhap asor/Wani ngalah duwur wekasane/Tumung kula yen dipun dukani/Bapang den simpangi/Ono catur mungkur.
Itulah cuplikan syair mijil yang ditembangkan oleh seluruh anggota Paguyuban Budaya Sekar Kawedhar. Lirik tersebut memuat ajaran tentang jalan kebenaran yang harus digenggam tiap pribadi, serta sebagai manusia harus bermanfaat bagi sesama. ” Andhap asor berarti tahu cara menempatkan diri. Selalu bersikap rendah hati kepada siapa saja,” ungkapnya.
Tembang selanjutnya adalah dhandanggula, berjudul Kidung Rumekso ing Wengi. Konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga untuk menghindarkan diri dari gangguan jin dan setan.
Ana kidung rumekso ing wengi/Teguh hayu luputa ing lara/Luputa bilahi kabeh/Jin setan datan purun/Paneluhan tan ana wani/Miwah panggawe ala/Gunaning wong luput/Geni atemahan tirta/Maling adoh tan ana ngarah ing mami/Guna duduk pan sirno.
Sesuai dengan pakemnya , tembang dhandanggula selalu memuat 10 bait. Dhandanggula berasal dari kata gegadhangan, atau bersama-sama memanggul sebuah harapan. Sedangkan gula sama dengan gula yang mengandung rasa manis.
”Dengan menembangkan dhandanggula Kidung Rumekso ing Wengi, kami berharap dapat dijauhkan dari segala hal yang negatif,” ungkap salah satu dari 15 pendiri Sekar Kawedhar.
Selain dhandhanggula karangan Sunan Kalijaga, Sekar Kawedhar memiliki karya pribadi dengan judul yang sama, ciptaan dari Brama Iswara, ketua umum.
Linambaran tekad wus nyawiji/Sekar Kawedhar ning Sidoarjo/Hangleluri budayane/Budaya adiluhung/Den pepetri dimen lestari/Tan bakal ilang musna/Hing bebrayan agung/Tan manggih ribed rubeda/Mugi Gusti hangayomi ngijabahi/Bisa tuwuh ngrembaka.
Syair tersebut ditembangkan oleh Sri Lestari, salah satu anggota. ”Itu sebagai wujud harapan kami agar Sekar Kawedhar tak sekadar berupaya melestarikan budaya Jawa. Tapi bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sekitar,” ujar perempuan 41 tahun itu.
Dua macapat lain yang ditembangkan adalah asmaradana dan gambuh . Asmaradana artinya asmara atau rasa cinta. Dahana yakni api. ”Jadi rasa cinta yang berapi-api. Cinta tak sekadar romantisme pria dan wanita. Bisa juga cinta terhadap sesama, para leluhur dan Tuhan,” ungkapnya.
Gambuh berasal dari kata jumbuh yaitu bersatu. Tembang tersebut mengungkap nasihat tentang bagaimana cara suami-istri membina rumah tangga atau cara bersosialisasi dengan semua pihak. Termasuk petuah dalam kehidupan bermasyarakat.
Pada ulang tahunnya yang ke-17, mereka mengadakan prosesi pemotongan tumpeng untuk disantap bersama-sama. Sebagai simbol Sekar Kawedhar tak hanya nguri-uri budaya Jawa atau melestarikan secara bentuknya.
Melainkan segala hal yang berkaitan dengan pasemon macapat dalam kehidupan turut lestari pula dan digunakan sebagai pegangan hidup sehari-hari. Untuk para generasi muda, Sekar Kawedhar telah berupaya masuk ke sekolah-sekolah dan mengusulkan pelajaran macapat sebagai ekstrakurikuler.
Namun hingga saat ini terkendala birokrasi. ”Tak masalah. Anggota kami yang sudah ada 35 orang dari berbagai daerah bertekad akan terus melestarikan budaya ini agar tidak tergerus zaman,” pungkas Bambang. (Guruh Dimas/Ajib Syahrian)