Tiongkok sedang menggagas teknologi untuk memenuhi pasokan listrik di negaranya. Yakni, melalui teknologi fusi. Inilah yang kerap disebut sebagai matahari buatan. Teknologi ini mampu menghasilkan energi bersih tanpa henti dengan mensimulasikan proses reaksi fusi nuklir di matahari.
DALAM ilmu fisika, fusi nuklir penggabungan dua inti atom. Mereka lantas menjadi inti atom yang lebih besar dan mampu melepaskan energi.
Teknologi canggih itu berpotensi menghasilkan sumber energi alternatif.
’’Matahari buatan’’ itu diperkenalkan kali pertama oleh Prancis Selatan. Mereka memulai Thermonuclear Experimental Reactor (ITER) pada 2007. Targetnya, bisa menyala dan digunakan pada 2025. Sayangnya, proyek itu mati.
ITER adalah proyek ilmiah internasional paling mahal dalam sejarah. Biayanya sekitar USD 45 miliar-USD 65 miliar. Jika dirupiahkan, angkanya di atas triliun. Yyaitu sekitar Rp 6,7 kuadriliun - Rp 9,4 kuadriliun.
Wow…
Negara-negara lain kemudian memakai pengetahuan yang dikembangkan oleh ITER Prancis untuk meningkatkan proyek reaktor fusi negara mereka sendiri. Namun, banyak juga yang akhirnya tertunda karena tekniknya yang kompleks dan biayanya yang besar.
Tiongkok melihat momen itu sebagai ajang untuk menunjukkan kebolehannya. Pemerintah Tiongkok kemudian meminta para ilmuwan untuk mempersiapkan China Fusion Engineering Testing Reactor (CFETR) dan membangun fasilitas besar untuk uji coba di kota Hefei. Target Tiongkok, CFETR menjadi fasilitas pertama yang menghasilkan listrik dengan teknologi fusi itu.
Proyek itu telah diajukan, namun masih menunggu persetujuan akhir dari pemerintah.
Tantangan yang dihadapi Tiongkok berat. Sebab, mereka harus menemukan cara untuk mengendalikan gas yang sangat panas, hidrogen, dengan suhu dalam reaktor yang diperkirakan mencapai atau melebihi 100 juta derajat Celsius.
MATAHARI BUATAN yang dibangun di Hefei, Tiongkok, ini memecahkan rekor untuk kestabilan reaksi fusi yang menghasilkan suhu supertinggi.
(Foto: Xinhua)
Mei lalu, perangkat simulasi di kota Hefei berhasil menciptakan plasma yang menyala pada 150 juta derajat celsius. Para ilmuwan Tiongkok mampu mempertahankan gas bersuhu tinggi itu pada tingkat yang stabil, yaitu selama lebih dari 100 detik. Ini adalah sebuah rekor dunia.
Belum puas, Tiongkok memasang sasaran yang lebih tinggi lagi, yaitu waktu pembakaran menjadi 400 kemudian 1.000 detik. “Perkembangan fusi nuklir itu secepat pengembangan keping untuk pemrosesan pusat komputer,” kata Profesor Song Yuntao, seperti dikutip South China Morning Post .
Tentunya, Tiongkok melakukan eksperimen itu secara berhati-hati. Para ilmuwan tetap membatasi gas panas yang dikeluarkan. Yakni, dengan bantuan medan magnet yang sangat kuat yang dihasilkan oleh superkonduktor. Sebab, jika jumlahnya melewati batas, energinya mampu menghancurkan apa pun yang disentuhnya.
Menurut Song, kemajuan dalam penelitian teknologi fusi juga bermanfaat untuk sektor lain di Tiongkok. Kapasitas produksi negara itu untuk bahan superkonduktor meningkat 10 ribu kali lipat. Material itu memang dibutuhkan di berbagai sektor, mulai transportasi hingga peralatan medis. Peningkatan produksi tersebut membantu mengurangi harganya secara signifikan. Bahkan, 60 hingga 70 persen bahan superkonduktor di luar negeri, dibeli dari Tiongkok.
“Amerika Serikat mengusulkan untuk menghasilkan listrik dengan pembangkit listrik fusi nuklir yang dibangun oleh pemerintah dan perusahaan swasta baru di antara 2035-2040. Sementara Inggris mengusulkan untuk mengomersialkan energi fusi nuklir pada 2040,” kata Song.