Lamongan tak hanya memiliki wisata pantai. Kota kecil di pesisir pantai utara Pulau Jawa itu juga punya wisata waduk dan danau. Salah satunya Waduk Gondang, di daerah Sugio. Menyajikan pemandangan bendungan raksasa yang konon dibangun pada era kolonial.
MENDUNG masih menggantung di atas Waduk Gondang, Lamongan, sore pekan lalu. Padahal hujan sudah berhenti dari tadi. Awan abu-abu memudar, menggulung di angkasa. Seperti gulali kapas yang dibiarkan menggumpal tanpa tusuk bambu.
Di hadapanku terhampar danau yang sangat luas. Beberapa perahu tertambat di tepinya. Beberapa lagi terlihat mengapung di tengah, membawa penumpang. Di sebelah barat, danau itu berbatasan langsung dengan petak-petak padi dan jagung milik penduduk.
Tepat di tengah danau, terdapat daratan yang menjorok ke tengah. Penuh tanaman jagung yang telah tumbuh tinggi. Sebentar lagi pasti bisa dipanen. Di pinggirannya, seorang petani tampak sedang menyabit ilalang liar yang masih basah. Ia pun setengah kuyup terkena hujan yang datang sejam lamanya.
Aku melihatnya dari kedai yang terletak agak jauh ke utara. Di tempat yang agak tinggi. Kedai yang jadi favorit wisatawan. Didekorasi dengan apik. Bak rumah pohon dengan meja kecil serta dinding pembatas dari kayu. Itu spot yang tepat untuk memandang birunya danau dan hijau rerumputan. Bila ingin lebih tinggi, bisa pergi ke arah bendungan yang jaraknya sekitar 100 meter ke arah timur.
Tapi bendungan raksasa tersebut jarang dibuka. Bila ingin nekad, dapat memanjat tangga besi yang terpasang pada salah satu pilar penyangga bendungan. Di bagian atasnya tampak bangunan pos pemantau ketinggian air. Tapi itu tidak disarankan. Karena berbahaya.
Atau kalau mau lebih aman, bisa mengambil arah memutar, menuju desa di seberang danau. Jauh. Tapi dari sana mungkin ada akses masuk menuju jalan di atas bendungan yang tampak membujur kokoh. Sebab, di bagian atas tersebut tampak beberapa pemuda sedang berolahraga. Berlari-lari kecil putar-balik dari ujung ke ujung. Pasti mereka masuk dari sana.
Beberapa orang tampak turun ke bawah sembari memanggul joran. Wah, para pemancing. Di punggung mereka tersampir tumbu, alias wadah ikan dari bambu. Mereka menuju danau. Beberapa lagi ke sudut selatan, melewati terowongan bendungan, kemudian duduk di bebatuan besar dan mulai merakit pancingnya.
Di tepi danau terdapat beberapa orang berjalan di atas papan kayu, kemudian menghampiri sebuah perahu. Rupanya jika ingin naik dan pergi ke tengah danau, biayanya sepuluh ribu rupiah per orang. Itu jika ada beberapa orang yang turut naik. Jika hanya 1-2 orang saja, maka tarifnya sama dengan carter. Tentu lebih mahal.
Karena penasaran, aku ikut naik kapal bersama rombongan tersebut. Sengaja duduk di bagian paling depan. Pengemudi menyalakan mesin motor. Berangkatlah perahu yang kami tumpangi, menyusuri pinggiran daratan. Melewati ladang jagung yang menjorok ke danau. Daun-daunnya melambai seperti menyapa. Perahu terus bergerak melewati tepi bendungan dan para pemancing, kemudian terus ke tengah. Daratan seberang berbukit memperlihatkan satu-dua atap rumah penduduk.
Ketika kembali, tampak pemandangan lokasi awal yang membujur dari timur ke barat. Deretan kedai-kedai kopi berjajar. Saat sampai, aku langsung berjalan ke barat. Sebab, di sana terdapat jembatan unik yang membujur. Di bawahnya adalah terowongan yang menghubungkan jalan areal wisata dengan ladang milik penduduk.
Jembatan itu dinamakan Titian Cinta. Entah mengapa namanya seperti itu. Tapi memang terdapat beberapa pasangan yang naik jembatan itu kemudian bersantai berdua sembari melihat pemandangan Waduk Gondang dari ketinggian. Dari situ, memag view-nya asyik. Bisa melihat aktivitas para petani yang sedang mengurus tanaman padi mereka.