MARKET share ekonomi syariah di Indonesia masih relative kecil. Di industri keuangan baru sekitar 8 persen. Di perbankan syariah malah hanya 6 persen. Meski begitu, prospek ekonomi syariah ke depan tampaknya sangat bagus.
Paling tidak, itulah yang tergambar dari event tahunan Bank Indonesia, Festival Ekonomi Syariah Jawa, pekan lalu. Acara yang merupakan rangkaian road to ISEF (International Sharia Economic Festival) 2021 ini mencatatkan capaian-capaian yang menggambarkan optimisme perkembangan ekonomi syariah.
Dalam business matching, misalnya, telah terjadi komitmen pembiayaan UMKM Rp 6,9 triliun. Meningkat hampir 100 persen dibanding tahun lalu. Dari bank syariah Rp 2,8 triliun, lembaga ziswaf Rp 1,7 triliun, e-commerce Rp 3 triliun, dan sisanya dari fintech syariah. Sharia Fair yang hanya diikuti sedikit peserta—karena pandemic—juga mencatat transaksi sekitar Rp 1 miliar.
Digelar selama sepekan, festival yang dikemas secara hybrid ini dikunjungi 149 ribu orang. Yang menarik, sekitar 70 persen pengunjungnya berusia 18-24 tahun. Ini menggambarkan bahwa generasi Z—lahir akhir 1990-an hingga 2000-an--memiliki respek yang bagus terhadap ekonomi syariah. Jika dikelola dengan baik, maka ini bisa menjadi kekuatan ekonomi syariah di masa mendatang.
Masa depan ekonomi memang ada pada generasi Z. Yang saat ini masih berusia kurang dari 25 tahun. Tentu juga generasi milenial atau generasi Y. Dua generasi inilah yang lahir dan besar di tengah derasnya perkembangan teknologi. Yang lebih friendly dengan teknologi digital, di mana ekonomi akan berkembang mengikuti perkembangan teknologi digital. Termasuk ekonomi syariah.
GUBERNUR Jatim Khofifah Indar Parawansa (tengah) dan Ketua Tim Penggerak PKK Jatim Arumi Bachsin (kanan) membuka Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Regional Jawa 2021. (Foto: Pemprov Jatim)Stakeholder ekonomi syariah harus bisa mengikuti style generasi Y dan Z ini jika ingin mereka bisa menjadi pemangku kepentingan ekonomi syariah di masa depan. Saat ini, meski mereka sangat tertarik terhadap ekonomi syariah, namun literasinya masih sangat rendah. Itu jika kita lihat literasi secara umum terhadap keuangan syariah.
Survei Nasional Keuangan Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan syariah hanya 8,93 persen. Ini berarti, hanya 9 dari 100 orang dewasa Indonesia yang mengenal produk keuangan syariah dengan baik. Ini jauh dibanding literasi keuangan nasional yang sudah mencapai 38 persen.
Ada dua hal yang disalah-mengerti tentang keuangan syariah, termasuk pada generasi Y dan Z. Pertama, keuangan syariah dianggap sebagai model keuangan untuk orang Islam. Ini tentunya salah kaprah. Sebab, keuangan syariah sebagaimana syariah secara umum, adalah untuk rahmatan lil-alamien. Yaitu untuk seluruh alam. Bukan saja untuk muslim.
Karena itu, di negara-negara non-mayoritas muslim, ekonomi dan keuangan syariah juga berkembang pesat. Di Inggris, Singapura, Jepang, Korea Selatan, bahkan Amerika Serikat, juga berkembang ekonomi dan keuangan syariah. Brazil dan Australia, misalnya, mengklaim sebagai pusat daging halal dunia. Singapura bertekat menjadi hub keuangan syariah dunia. Begitu juga Thailand yang mengklaim sebagai dapur halal dunia.
Kedua, keuangan syariah dianggap sama dengan keuangan konvensional, namun dengan diksi-diksi Arab. Ini juga pemahaman yang salah. Sebab, keuangan syariah memiliki system sendiri yang berbeda dengan konvensional. Bukan sekedar menggunakan nama Arab. Sebagai contoh adalah pembiayaan mudharabah. Ini adalah pembiayaan berbasis bagi hasil yang tentunya pendapatan pemilik modal (bank) tidak fixed. Tidak pasti, tergantung pendapatan mudharib atau pengelola usaha.
Untuk menarik agar generasi Z dan generasi Y bisa menjadi harapan bagi masa depan ekonomi syariah, maka literasi mereka harus menjadi perhatian pemerintah. Tentunya dengan cara-cara yang sesuai dengan style mereka yang sehari-hari tak lepas dari teknologi digital. (*)
*Dosen Ekonomi Syariah FEB Universitas Airlangga