Harian Disway - PEKAN lalu, dalam sambutannya pada program pendidikan di Lemhannas, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pada suatu titik pemerintah akan menghentikan ekspor bahan baku dan produk mentah, seperti minyak sawit mentah (CPO).
Indonesia harus mampu mengekspor produk jadi dengan nilai tambah yang tinggi. Bagaimana pelaku usaha sawit menyikapi pernyataan Jokowi itu?
Sampai hari ini, Indonesia masih menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Bukan hanya sebagai produsen terbesar, Indonesia juga menjadi eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), total produksi minyak sawit pada 2020 sekitar 47 juta ton, sebanyak 34 juta ton terserap di pasar ekspor.
Sementara itu, hingga Agustus 2021, dari total produksi 30,67 juta ton, sebanyak 22 juta ton terserap di pasar ekspor. Melihat data-data tersebut, pasar ekspor masih menjadi tulang punggung penyerapan produk minyak sawit dari Indonesia.
Terlalu bergantung kepada pasar ekspor bukan tanpa risiko. Jika pertumbuhan ekonomi global melemah, permintaan akan produk minyak sawit dunia juga akan turun dan itu akan membawa dampak pada stabilitas harga minyak sawit.
Menyadari risiko tersebut, pemerintah sudah melakukan berbagai strategi agar keseimbangan antara daya serap di pasar ekspor dan pasar domestik menjadi lebih seimbang. Hal tersebut sudah dilaksanakan melalui program mandatori biodiesel yang sudah mencapai bauran 30 persen.
Dari data yang ada, penyerapan minyak sawit di pasar domestik untuk konsumsi biodiesel mencapai 42 persen dari total konsumsi di pasar domestik. Dengan demikian, meski pasar ekspor masih menjadi backbone, daya serap pasar domestik terus ditingkatkan.
Hilirisasi Sawit
Rencana pemerintah untuk menghentikan ekspor CPO merupakan mimpi besar Jokowi agar Indonesia bisa menjadi pengekspor barang jadi, bukan barang mentah atau barang setengah jadi. Teoretis, barang jadi memiliki nilai tambah produk yang lebih tinggi. Siapkah Indonesia mewujudkan mimpi tersebut, khususnya untuk komoditas berbahan baku minyak sawit?
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah telah mendorong program hilirisasi sawit. Program tersebut pun telah terlaksana dengan baik. Itu bisa ditunjukkan dengan data bahwa dari 34 juta ton minyak sawit yang diekspor, sekitar 61 persen sudah berbentuk olahan minyak sawit mentah (refined product).
Sedangkan ekspor minyak sawit mentah (CPO) hanya sekitar 8 persen. Jadi, sebenarnya, tanpa adanya regulasi pelarangan ekspor bahan mentah, sebagian besar komoditas minyak sawit yang diekspor sudah dalam bentuk olahan.
Jika arah pengembangan sektor hilir sawit dibuat lebih dalam lagi hingga ke produk akhir, pemerintah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, hilirisasi sawit harus dilakukan dengan skema insentif dan disinsentif, bukan dengan regulasi yang akan mendistorsi pasar.
Kedua, hilirisasi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar.