Di Hadapan Yue Fei, Mereka Berlutut Selamanya
ILUSTRASI Di Hadapan Yue Fei, Mereka Berlutut Selamanya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
”Hidup untuk mengabdi, mati tanpa penyesalan.” (Yu Fei)
SEJARAH tidak hanya memuliakan pahlawan. Kadang, ia juga mengabadikan pengkhianat. Bukan untuk dihormati, melainkan untuk diingat sebagai peringatan.
Di tepi Danau Xi Hu yang teduh berdiri Kuil Memorial Yue Fei (Yuewang Miao). Di sanalah, di hadapan makam sang jenderal besar Yue Fei (1103–1142), waktu seakan berhenti.
Empat patung besi berlutut menghadap pusara: Qin Hui; istrinya, Wang; Zhang Jun; dan Moqi Xie. Empat wajah pengkhianatan yang dibekukan oleh sejarah agar generasi sesudahnya belajar, bahwa kesetiaan yang dikhianati tidak pernah benar-benar mati.
Peristiwa itu terjadi pada masa Nan Song, sekitar tahun 1141–1142. Saat itu Tiongkok sedang berperang melawan invasi bangsa Jin dari utara. Di bawah komando Yue Fei, pasukan Song mulai menorehkan kemenangan demi kemenangan. Ia hampir memulihkan tanah air yang terpecah, menyalakan kembali harapan rakyat yang lama padam.
Namun, ketika genderang perang hampir berpadu dengan sorak kemenangan, suara dari istana justru memerintahkan langkah mundur.
Perintah itu datang dari Qin Hui, pejabat tinggi istana yang lebih mencintai kedamaian semu daripada kehormatan negeri, dan disetujui oleh Kaisar Gaozong, kaisar muda yang gentar pada bayangan perang dan lebih percaya pada bujuk rayu daripada darah para prajuritnya sendiri.
Dalam sekejap, kemenangan berubah menjadi persekongkolan. Di balik tembok istana, kecurigaan dijahit, laporan palsu disebar, dan nama Yue Fei mulai dikoyak oleh intrik.
Tak lama kemudian, suara kebenaran dikalahkan oleh bisikan kekuasaan. Yue Fei dijebloskan ke penjara, difitnah sebagai pemberontak, dan akhirnya dihukum mati dengan tuduhan ”pengkhianatan terhadap negara”.
Tuduhan yang ironis. Sebab, justru ia yang paling setia kepada negeri yang dikhianati penguasanya sendiri.
Tubuhnya memang mati, tetapi kesetiaannya tetap hidup menjelma amarah panjang yang tak padam di dada rakyat.
Kesetiaan semacam itu melampaui masa dan kekuasaan. Ia menjadi bahasa nurani yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah mencintai kebenaran lebih dari keselamatan diri.
Pengkhianatan mungkin tampak menang hari ini, tapi sejarah selalu punya cara menuliskannya kembali dengan tinta kehinaan.
Saatnya sejarah menagih balas. Setelah Yue Fei tewas, kebenaran mulai terungkap: laporan palsu, sogokan, dan fitnah yang direkayasa oleh Qin Hui dan kaki tangannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: