Di Hadapan Yue Fei, Mereka Berlutut Selamanya

Di Hadapan Yue Fei, Mereka Berlutut Selamanya

ILUSTRASI Di Hadapan Yue Fei, Mereka Berlutut Selamanya.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Rakyat menuntut pengadilan. Nama Qin Hui pun terjerembap dalam aib yang tak berkesudahan. Ia mati dalam kebencian rakyat. Namanya dihapus dari silsilah, keluarganya dikucilkan, dan setiap orang menyebut namanya dengan rasa jijik.

Bertahun-tahun kemudian, ketika nama Yue Fei dipulihkan, rakyat membangun kuil untuk mengenangnya.

Di hadapan makam itu, mereka memahat empat patung besi berlutut, tangan terikat, kepala tunduk.

Patung-patung itu bukan titah kaisar, melainkan karya rakyat –monumen kemarahan nurani. Mereka ingin sejarah melihat, bahwa keadilan tidak selalu datang dari mahkota. Kadang, ia tumbuh dari hati rakyat yang tak mau lupa.

Setiap tahun ribuan peziarah datang ke wihara itu. Mereka menunduk hormat kepada Yue Fei, lalu menatap empat patung itu dengan amarah yang tak tertahankan.

Ada yang menabok dengan tangannya, ada yang meludah, ada yang melempar sandal. Bukan karena dendam, melainkan karena keadilan harus dirawat, dan dengan cara itu ia mengingat.

Kita, di negeri yang sering menertawakan pengkhianatan, barangkali perlu belajar dari Hangzhou.

Di sini –di negeri ini– pengkhianatan kerap disembunyikan dalam upacara kehormatan. Para pelakunya masih duduk di kursi kuasa, masih berbicara tentang moral, bahkan masih diundang memberikan ceramah tentang kebangsaan. Kita hidup di zaman ketika pengkhianat bisa berganti baju menjadi negarawan. Rakyat pun diminta bertepuk tangan.

Di sana, pengkhianat diabadikan bukan dalam kemuliaan, melainkan dalam penghinaan. Tidak diberi gelar, tidak dijadikan nama jalan –meski sebelumnya pernah berjasa. Mereka dibiarkan berlutut selamanya di hadapan keadilan yang mereka khianati.

Namun, untuk bangsa ini, mungkin bentuknya tak perlu dengan patung. Tak perlu pula memahat wajah para pengkhianat di batu atau besi.

Cukuplah kita memahat ingatan, menolak menulis nama mereka di buku sejarah sebagai tokoh, menolak memberikan pangkat kehormatan, menolak melupakan.

Sebab, di negeri yang masih mudah memuja kuasa dan melupakan dosa, melupakan adalah bentuk pengkhianatan baru. Dan, bangsa yang melupakan pengkhianatnya sesungguhnya sedang menyiapkan panggung untuk pengkhianatan berikutnya.

Barangkali di situlah bangsa ini benar-benar mulai belajar. Bahwa kemajuan bukan sekadar soal bangunan megah, tetapi keberanian untuk mengabadikan pengkhianatan agar tak lagi dipuja.

Mereka memang berlutut di hadapan Yue Fei, tapi sejatinya yang mereka tunduki adalah kebenaran itu sendiri –kebenaran yang tak pernah mati, hanya menunggu adakah bangsa lain berani menegakkannya. (*)

*) Ady Amar adalah kolumnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: