YANG bikin heboh itu adalah cuitan Danny Haiphong, aktivis dan penulis, lewat Twitter . Ia menyandingkan potret dua stasiun kereta. Satu di Guangzhou. Satu lagi di New York, Amerika Serikat. Caption -nya juga sederhana: Stasiun kereta di Guangzhou versus stasiun kereta New York.
Unggahan itu langsung viral. Ribuan orang berkomentar, memberi tanda suka, dan menggungah ulang. Betapa tidak, dua foto itu tampak kontras. Stasiun kereta Tiongkok tampak bersih dan modern. Sedangkan stasiun kereta di New York terlihat kumuh dan usang.
’’Stasiun kereta di AS sudah berumur seabad lebih. Saya mengagumi sejarahnya. Tetapi, kenapa stasiun itu tampak usang dan tak terawat,’’ kata Chen Yang, warga Guangzhou, yang diwawancarai China Daily ketika sedang membaca buku di perpustakaan Stasiun Panyu Square.
’’Sebagai cewek perkotaan, saya lebih memilih gedung kinclong, kereta adem, dan peralatan modern,’’ kata perempuan yang kuliah di Amerika Serikat itu.
Beberapa orang memang berpendapat bahwa perbandingan foto itu tidak adil. Sebab, yang dipotret memang bagian stasiun New York yang tidak pernah terpakai. Kalau mau yang modern, yang dipotret harus stasiun Chambers Street.
Tetapi, jalur kereta di Guangzhou memang harus diakui kecanggihannya. Kereta memakai teknologi terkini. Kereta bawah tanahnya bisa ngebut sampai 160 kilometer per jam. Yang tercepat di kawasan Guangdong-Hong Kong-Macao.
Fasilitas stasiun juga komplet. Termasuk perpustakaan yang koleksinya bisa dibaca secara bebas.
Peron dilengkapi penunjuk digital uang menginformasikan kerumunan. Sehingga, orang bisa memilih jalur yang lebih sepi. Untuk naik kereta, penumpang bisa menggesek kartu, memindai kode QR, atau memakai peranti pemindai wajah.
Kereta bawah tanah di Guangzhou juga sudah menjulur-julur sejauh 500 kilometer pada 2020. Termasuk lima besar jaringan kereta perkotaan terpanjang di dunia. Tahun lalu, kereta-keretanya mengangkut lebih dari 2,4 miliar penumpang. (Doan Widhiandono)