Pesantren memiliki captive market yang besar. Santri, keluarga santri, alumni, dan keluarganya adalah pasar yang potensial bagi usaha pesantren. Apalagi bagi pesantren-pesantren besar dengan jumlah santri ribuan hingga belasan ribu seperti Sunan Dradjat Lamongan, Al-Amien Sumenep, Sidogiri Pasuruan, dan Gontor Ponorogo.
Captive market yang besar itu harus menjadi kekuatan. Nilai ekonomi pesantren seharusnya bisa dinikmati kalangan pesantren sendiri. Seperti halnya Pesantren Sidogiri. Dua BMT-nya telah beraset lebih dari Rp 3 triliun. Mereka juga memiliki jaringan minimarket, air mineral Santri, dan BPR Syariah.
Agar captive market yang besar bisa menjadi kekuatan, pesantren harus melakukan kolaborasi. Hadirnya Himpunan Ekonomi dan Bisnis Pesantren (Hebitren) seharusnya bisa memaksimalkan nilai ekonomi itu bagi kemandirian pesantren. Kerja sama antar-usaha pesantren se-Jawa yang diawali dari Festival Ekonomi Syariah pekan lalu harus menjadi trigger bagi usaha pesantren untuk berkembang. Kolaborasi akan saling menguntungkan. Antarpesantren bisa saling beli dan saling jual produk unggulannya sehingga pasar pesantren dikuasai pesantren sendiri.
Dalam tataran konsep, potensi kolaborasi itu luar biasa. Sebagai contoh terkait kebutuhan seragam santri. Pesantren yang memiliki santri 12 ribu rata-rata tiap tahun menerima 4 ribu santri baru. Kebutuhan seragam per santri sedikitnya lima, termasuk seragam olahraga. Artinya, kebutuhan tiap tahun mencapai 20 ribu seragam. Jika harga satu seragam Rp 50 ribu saja, nilainya mencapai Rp 1 miliar.
Dengan kolaborasi, seharusnya ada pesantren yang punya usaha unggulan konfeksi yang memproduksi seragam. Ada yang usahanya produksi songkok, sarung, dan sepatu-sandal. Juga, consumer goods seperti sabun mandi, sabun cuci, pasta gigi, dan sampo. Pesantren lain bisa memproduksi barang pertanian, beras, sayur, hingga peternakan dan perikanan.
Dalam hitungan kasar, nilai ekonomi di satu pesantren per bulan mencapai miliaran. Anggaplah pengeluaran satu santri Rp 500 ribu sebulan, nilai ekonomi di pesantren dengan 10 ribu santri mencapai Rp 5 miliar. Padahal, di beberapa pesantren, santri bisa menghabiskan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta sebulan. Bisa dihitung berapa uang berputar di pesantren dengan jumlah santri hampir sejuta di Jatim.
Kunci sukses kolaborasi pesantren ada pada kemampuan menghilangkan ego masing-masing. Sebab, pesantren ibarat kerajaan-kerajaan kecil. Mereka asyik dengan keberadaannya sendiri dan sulit saling menyerahkan potensi pasarnya ke pesantren lain.
Untuk itu, pendirian kelompok pesantren dalam satu kesatuan usaha atau holding bisa menjadi solusi. Bisa juga dengan koperasi sekunder. Setiap pesantren menjual produknya dan membeli produk lain ke koperasi sekunder yang dimiliki bersama. Dengan begitu, keuntungan akan kembali ke pesantren masing-masing berdasar pada keaktifannya bertransaksi.
Tantangan lainnya, banyak pesantren yang menerapkan kepemimpinan terpusat. Semua bergantung kiainya. Kiai menjadi ulama, pendidik, dan pengasuh; penghubung masyarakat; pemimpin; dan pengelola pesantren. Termasuk pengelola usaha pesantren. Karena itu, agar sukses, kolaborasi pesantren harus melibatkan langsung kiai atau para putranya. Sebab, merekalah pengambil keputusan. Terutama pada pesantren salaf yang belum dikelola secara modern. Wallahu a’lam. (*)
*) Imron Mawardi, dosen ekonomi syariah FEB Universitas Airlangga dan ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur 2018–2021.