Maling Sayur dan Kemiskinan

Kamis 28-10-2021,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

Indikator miskin adalah pengeluaran per kapita per bulan Rp 472.525. Jika dikalkulasi per kapita per hari Rp 15.750.

Gampangnya, orang (tua-muda, pria-wanita) yang bisa hidup dengan pengeluaran Rp 15.750 per hari ke atas, disebut (oleh BPS) tidak miskin. Kalau di bawah itu, berarti miskin.

Maling sayuran sangat mungkin untuk dimakan bersama keluarga. Pertanda miskin. Ketika mencuri, ia dihakimi begitu kejam. Oleh warga desa yang juga miskin.

Dikutip dari The Guardian (5 Juli 2017) yang mengutip buku karya Stephen Pimpare: A People’s History of Poverty in America (Juni 2011), orang miskin cenderung kejam terhadap sesama orang miskin.

Pimpare mencontohkan literatur dalam antropologi dan sosiologi tentang perempuan dan kesejahteraan yang diterbitkan pada 1980-an. ”Berkali-kali ditemukan, bahwa wanita (di Amerika Serikat) yang hidup tidak sejahtera (miskin) mengumpat tentang kesejahteraan terhadap orang miskin lainnya.”

Itu keanehan. Karena diduga, semestinya sesama orang miskin bersatu, akibat persamaan nasib. Yang ternyata tidak.

Perspektif orang kaya beda lagi. Orang kaya percaya, mereka pemenang dalam kehidupan. Mereka sampai di tempat mereka sekarang karena mereka yakin bahwa itu diraih dengan kerja keras. Karena itu, mereka merasa layak mendapatkan hasilnya.

Pandangan itu betul. Berdasar logika, pandangan tersebut benar.

Pimpare: ”Orang kaya memandang orang miskin dengan cara pandang mereka. Bahwa orang miskin dianggap gagal dalam kehidupan, karena kurang keberanian dan prestasi.”

Orang kaya memandang kasus pembunuhan terhadap maling sayur di Garut, pastinya prihatin. Betapapun kejahatan yang dilakukan Maman, tak sebanding dengan main hakim sendiri yang dilakukan warga setempat.

Tapi, orang kaya (dalam hati) menyalahkan Maman dan warga pengeroyok. Karena kemiskinan, maling sayuran dihukum begitu rupa. Menyitir kalimat Pimpare: "Orang jadi miskin karena kurang prestasi." (*)

Tags :
Kategori :

Terkait