Ganasnya pandemi Covid-19 menghantam kehidupan sosial ekonomi para waria. Mereka yang hidup sebagai pengamen, pekerja seks, pedagang, pengrajin, dan pekerjaan lainnya harus mencari cara untuk bertahan.
“PAS pandemi awal, saya cuma dapet Rp 3.000. Padahal saya GoJek dari kos ke Babarsari (untuk mengamen) Rp 10 ribu. Jalanan enggak ada orang. Ya, tapi saya bersyukur. Saya pulang juga dipinjamin ongkos,” cerita Jeny, pengamen transpuan berumur 38 tahun.
Menurut Jeny, pendapatan saat “konser” tidak mungkin kecil. Setidaknya cukup untuk makan. Hanya dalam keadaan tertentu penghasilan bisa terjun payung. Seperti pandemi ini. Sebelumnya, ia pernah mendapat penghasilan 6 digit dalam sehari.
Begitu juga dengan Endang, waria pekerja seks. Tamunya sepi. Seminggu hanya dua sampai tiga orang. Dulu, ia bisa mendapat tamu 10 orang dalam semalam.
“Tapi aku bertahan. Emang pandemic ini ’ujian’ untuk kita semua. Walaupun aku berhubungan, yang laki pakai masker. Aku juga pake masker,” cerita Endang.
Ketika pandemi tiba di Indonesia pada Maret 2020, para waria di Yogyakarta sama sekali belum memiliki gambaran tentang Covid-19. Mereka juga tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Shinta Ratri, waria pemimpin pondok pesantren Al-Fatah mengimbau para waria untuk menetap di pondok. Jumlahnya sekitar 13 orang. Semuanya kehilangan pekerjaan. Mereka lebih aman di Al-Fatah. Sebab, kebutuhan makanan tersedia. Shinta juga menambah stok beras, mi, hingga peralatan mandi untuk kawan waria. Mereka mengisi waktu “libur” dengan berkreasi membuat prada dan manik-manik.
Namun, masih ada beberapa waria yang nekat kerja. Sebab, tidak ada uang, berarti tidak bisa membayar uang kos. Mereka menerobos kampung yang “ lockdown ” supaya bisa keluar.
“Bantuan sosial (Bansos) pemerintah tidak sampai. Masyarakat biasa di sini aja enggak dapet , apalagi waria. Kami tidak menggantungkan bantuan dari pemerintah. Kami bergerak sendiri, makanya kita bisa melewati krisis itu,” tutur Shinta.
Dengan bantuan komunitas, lembaga sosial, dan beberapa universitas, Al-Fatah berhasil menggalang dana untuk menunjang kehidupan para waria selama pandemi.
Dari hasil donasi itu, Al-Fatah mengadakan program sembako. Mereka membagikannya tiap bulan. Tak hanya terbatas untuk para waria. Namun juga untuk masyarakat umum. Mereka sengaja menyisihkan uang belanja untuk bisa membuat paket sembako lebih banyak. Satu paket yang seharga Rp 100 ribu, hanya dibelikan Rp 70 ribu. Lebihnya, dibagikan kepada tetangga.
’’Di samping bisa membagi ke kawan komunitas, kita juga bisa membantu masyarakat sekitar ini. Itu saat bermanfaat,” kata Shinta. Sembako masih disalurkan hingga kini. Rencananya, selesai pada November 2021.
Seminggu sekali, mereka mengadakan program dapur umum. Nasi box dibagikan di lima titik komunitas. Ada Bantul, Kulon Progo, Kota Gede (Al-Fatah), Kota Yogyakarta (Kebaya), dan Jalan Solo. Selain untuk kawan waria, mereka juga berbagi ke masyarakat sekitar.
Para waria bertahan dalam kemandiriannya. Saat hand-sanitizer langka, mereka dapat menyetok persediaan sendiri. Al-Fatah mendapatkan pelatihan produksi hand-sanitizer bersama fasilitator juga pemateri dari perusahaan farmasi.
Sebenarnya, para waria baru “berjatuhan” ketika gelombang kedua Covid-19 pada Juni lalu. Kegiatan rutin Al-Fatah juga terpaksa rehat. Kebanyakan dari mereka isolasi mandiri (isoman) di kediaman masing-masing. Waria dengan kondisi parah baru dilarikan ke rumah sakit.