Restorative Justice dari Kwitang

Rabu 03-11-2021,04:00 WIB
Editor : Noor Arief Prasetyo

Di situ, Eglash membagi hukuman jadi tiga bentuk: 1). Retributive justice. 2). Distributive justice. 3). Restorative justice.

Retributif adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Disebut juga conventional justice.

Distributif adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan. Biasanya untuk pengguna narkoba.

Restoratif merupakan prinsip restitusi. Melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan: Reparasi (perbaikan sakit hati) bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku.

Restorative justice lahir pada awal 1970. Karena restributive justice  dianggap kurang memberikan manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat.

Lalu, para aktivis sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi.

Ternyata, pada 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Programm (VORP) di Ontario, Kanada, yang diindikasi sebagai gerakan awal konsep restorative justice.

Awalnya, program itu ditujukan kepada pelaku tindak pidana anak (pelakunya anak) dalam bentuk ganti rugi kepada korban. Misalnya, anak mencuri sesuatu. Kemudian, ortu memberikan ganti rugi kepada korban. Berdamai. Tanpa peradilan.

Hasilnya: Tingkat kepuasan cukup tinggi dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi itu mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara.

Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (2014), membagi lima pola implementasi restorative justice:

1). Court-based restitutive and reparative measures. Konsep itu diusung pendukung ”civilization thesis” di Inggris. Yakni, ganti kerugian dari pelaku kepada korban, sebagai reparasi terhadap korban.

2). Victim-offender mediation programmes. Pendekatan yang dipengaruhi Gerakan Christian Mennonite (Christian Mennonite Movement) menitikberatkan nilai rekonsiliasi antara korban dan pelaku.

3). Restorative conferencing initiatives. Pendekatan yang menekankan konferensi sebagai sarana penyelesaian pidana yang terdiri atas dua model, yakni family group conference dan police-led community conferencing (musyawarah antarpihak, disaksikan polisi).

4). Community reparation boards and citizens pannel. Pendekatan ini menggunakan mekanisme panel antara warga dan dewan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana sebagaimana konsep children hearing system di Skotlandia.

5). Healing and sentencing circles. Pendekatan yang populer bagi warga asli Kanada ini mengikutsertakan para pihak yang umumnya terlibat dalam pengadilan tradisional ke dalam ruang persidangan konvensional.

Kendati, restorative justice belum ada dasar hukumnya di Indonesia. Tugas pemerintah bersama DPR menyusun aturannya.

Tags :
Kategori :

Terkait