Sejak pertengahan abad 18, catatan pengetahuan tentang Nusantara banyak dikembangkan. Muhammad Malik Ar Rahiem menerjemahkan catatan empat pemikir Jerman di tanah Priangan.
Malik kerap merasa bahwa terdapat kegelapan dalam sejarah perkembangan pengetahuan di Indonesia. Ada momen-momen yang hilang atau terlupakan begitu saja. Seolah bangsa kita tertinggal dari bangsa lain.
Padahal tidak. ”Nyatanya peradaban Hindu-Buddha mampu meninggalkan jejak yang mengagumkan. Sampai pada era kolonial. Begitu banyak catatan tentang ilmu pengetahuan yang dikembangkan,” ujarnya.
Catatan-catatan tersebut telah hadir selama hampir 200 tahun, dari pertengahan abad-18 hingga sebelum Indonesia merdeka. Pada periode tersebut, ilmuwan kolonial sangat berperan. Mereka membuat banyak catatan, analisis dan interpretasi terhadap suatu gejala atau permasalahan. Berbagai macam bidang ilmunya.
Contohnya, Franz Wilhelm Junghuhn, dengan karya bukunya berjudul Java yang muncul pada era 1850-an. Karya tersebut merupakan karya monumental tentang Jawa, bahkan disebut-sebut melebihi History of Java karya Raffles.
”Tapi jarang ada orang yang membahas buku tersebut. Apa sebabnya? Ternyata karya itu terlupakan karena kita tidak memahami bahasanya,” ungkapnya.
Maka sejak tiga tahun terakhir, Malik banyak menggali sumber sejarah, baik catatan, foto, buku, lukisan, atau sketsa lawas dari orang yang pernah berkunjung ke Indonesia, terutama di daerah Priangan, Jawa Barat.
Ia membingkainya dalam satu kisah besar tentang perjalanan para naturalis Jerman di Priangan. Pria 31 tahun itu memilih menulis para naturalis Jerman karena ia menguasai bahasa tersebut. Sebab, kendala bahasa kerap membuat suatu karya besar terlupakan.
”Tak hanya bagi kita. Pada pertengahan abad-19, naturalis Alfred Wallace datang ke Hindia Belanda. Tapi ia tidak menemui Junghuhn sebagai pakar keilmuan Nusantara. Dari referensi yang saya baca, Wallace tak bertemu karena ia tak bisa berbahasa Jerman,” ujarnya.
Malik mengulas tentang empat orang naturalis asal Jerman yang pernah menginjakkan kaki di Priangan dan menghasilkan karya tulis besar. Selain Junghuhn, tiga lainnya: Salomon Muller, Ferdinand von Hochstetter dan Karl Martin.
”Keempat orang tersebut telah meninggalkan catatan sejarah penting. Mereka mendeskripsikan Bandung dan Priangan pada abad-19. Terutama penelitian ilmu alam,” ungkap alumni TU Darmstadt, Jerman, jurusan hidrogeologi tropis dan teknik lingkungan itu.
Pada abad-19, para penulis ilmiah disebut sebagai kaum naturalis, karena mereka banyak menghasilkan karya seputar pengetahuan alam yang bersifat generalis. Pada masa kini, ilmu-ilmu para kaum naturalis dikenal sebagai ilmu geologi.
Mencakup paleontologi dan vulkanologi, biologi, mencakup botani dan zoologi dan sebagainya. ”Naturalis masa lalu mampu menuliskan pengamatannya secara deskriptif, maupun secara naratif. Bahkan menyajikan grafis berupa peta, sketsa, penampang dan lain-lain,” ujarnya.
Salomon Muller, misalnya, ia mendeskripsikan ragam flora dan fauna yang ada di Priangan. Termasuk eksistensi badak Jawa, ketika ia melihat jejak tapak kakinya ketika menelusuri hutan Cilokotot yang rimbun dan rapat.
Akhirnya setelah tiga tahun riset dan menulis, Naturalis Jerman di Tanah Priangan: Terjemahan Catatan Perjalanan Muller, Junghuhn, Hochstetter, dan Martin tahun 1833-1911 terbit. Oleh Penerbit Layung dan dirilis pada Oktober 2021.