Laboratorium Kedaibilitas membangun Kompetensi Penyandang Disabilitas

Rabu 10-11-2021,08:00 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Penyandang disabilitas sejatinya juga punya kemampuan dalam berkarya. Yang mereka butuhkan adalah kesempatan untuk menunjukkan itu.

RUMAH mungil bergaya rustic itu nyempil di Jalan Sampoerna No 7. Pagarnya terbuat dari kayu. Begitu juga atap di bagian teras. Di bagian depan berjajar tanaman hias dan pohon pepaya yang masih kecil. Makin membuat suasana rumah itu rindang. Persis rumah-rumah di pedesaan. 

Lebar rumahnya hanya 2,5 meter dan memanjang seperti lorong. Diimpit kanan-kiri oleh rumah gedongan. Tapi, kecil bukanlah soal, sepanjang cinta membesar. Begitulah kira-kira prinsip pemilik rumah: Andi Fuad Rachmadi.

“Pokoknya, hidup saya bisa tambah bermanfaat, saya sudah seneng ,” tukas pria 35 tahun itu saat ditemui di rumahnya, Minggu (7/11). Omongannya terbukti dari bagaimana ia memanfaatkan rumahnya. Begitu masuk pintu, tidak ada ruang tamu. Yang ada hanya 10 bangku yang ditata rapi, berbaris di sisi kanan kiri.

Sekujur atap ditempeli lampu berjajar dari depan hingga belakang. Juga beberapa daun plastik dan hiasan-hiasan kertas. Andi menyebut ruang minimalis itu sebagai laboratorium kerja. Namanya:, Laboratorium Kedaibilitas. Yakni tempat mengumpulkan para penyandang disabilitas. Mulai Senin hingga Kamis.

“Kebetulan sekarang (7/11), hari Minggu, jadi teman-teman masih libur. Besok mulai lagi sampai Kamis,” katanya. Mereka tidak sekadar berkumpul, tetapi juga belajar. Bukan belajar mata pelajaran sekolah. Tetapi belajar dan berlatih meningkatkan kemampuan kerja.

Andi mengajak para penyandang disabilitas berkreasi di ruang itu. Mereka bersama-sama membuat produk. Ada produk makanan dan kerajinan tangan. Seluruh bakal dijual. Harapannya, dari kegiatan itulah semangat kewirausahaan mereka bisa dirangsang.

Yang utama bukan soal profit. Tetapi, bagaimana menyiapkan mereka terjun ke masyarakat. Bisa turut mengambil peran sosial. Mengingat, kata Andi, stigma masyarakat kepada para penyandang disabilitas sejauh ini tidak cukup adil.

“Kalau ada dari mereka yang melamar kerja kan pasti dianggap tidak kompeten. Jadi, itu yang mendorong kami untuk membantu meningkatkan kompetensi kerja teman-teman,” jelas bapak tiga anak lulusan Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Ekonomi itu.

Kenapa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus sementara ia justru lulusan pendidikan ekonomi?

Tertarik dan penasaran. Begitu nawaitu awal Andi. Jadi, ide pendirian laboratorium tersebut tidak datang secara ujuk-ujuk. Prosesnya cukup lama. Diawali saat ia mengajar di salah satu sekolah inklusi di Surabaya pada 2010 silam. 

Padahal, pertama kali mengajar, Andi sangat takut. Ia merasa kesulitan. Sebab, bingung menyambung komunikasi dengan mereka. Apalagi yang disandang bukan disabilitas fisik, tetapi mental dan intelektual. “Saya pernah kaget karena punggungku digebuk dari belakang. Maksudnya ingin menyapa. Tapi, alhamdulillah, saya jalani dan terus belajar. Akhirnya di hati ngerasa klik . Ya, sudah,” paparnya.

Ia merasa ada ikatan emosional yang kuat dengan murid-muridnya itu. Sampai banyak wali murid mengusulkan kepada Andi. Yakni membuka kegiatan belajar di luar jam sekolah. Permintaan itu disambut Andi dengan suka cita.

Setiap bel pulang sekolah, ia tak bisa langsung beranjak ke rumah. Tapi harus menunggu beberapa muridnya yang ikut bimbingan belajar tambahan di kelas. Akhirnya jam mengajarnya menjadi dobel. Artinya, pertemuan Andi dengan para murid semakin intens.

Bagi Andi, rutinitas ternyata juga berpeluang menumbuhkan makna baru. Tekadnya semakin tebal agar bisa berbuat lebih banyak kepada para penyandang disabilitas. Pada 2016, ia undur diri dari sekolah. Tetapi, tetap bertahan sebagai guru bagi para ABK, meski tidak formal. 

Tags :
Kategori :

Terkait