Harian Disway - PANDEMI Covid-19 dan pembatasan sosial membawa berkah tersendiri bagi pasar modal syariah. Jumlah investor saham melonjak luar biasa dan menembus angka psikologis 100 ribu single investor identification (SID) pada September lalu. Kini investor saham telah lebih dari 102 ribu.
Itu berarti, dalam setahun terakhir, jumlah investor naik 27,5 persen dari 80.152 pada September 2020. Yang menarik, dalam enam tahun ini, misalnya, jumlah investor saham syariah telah naik 20 kali lipat atau 2.000 persen. Data di Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa pada akhir 2015, jumlah investor saham syariah di pasar modal baru 4.908.
Jika ditarik dalam satu dasawarsa terakhir, saham syariah memang terus menunjukkan kinerja pertumbuhan yang sangat baik. Kinerja pertumbuhan rata-rata naik 84 persen per tahun. Rata-rata volume transaksi harian juga meningkat signifikan dari 2,7 miliar lembar per hari menjadi 8,97 miliar di awal 2021. Secara rata-rata, nilai transaksi harian naik 14,6 persen per tahun dan frekuensi naik 31 persen per tahun. Begitu juga dengan kapitalisasi pasar saham syariah.
Gairah investasi di saham syariah itu didukung ekosistem pasar modal syariah yang cukup baik. Data per Oktober 2021 menunjukkan, komposisi pasar saham syariah di Indonesia cukup dominan. Jumlah saham syariah mencapai 56,9 persen dari total saham yang tercatat di PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Begitu juga kapitalisasinya yang mencapai 45,6 persen dari total kapitalisasi pasar saham. Kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 3.683 triliun.
Data di BEI menunjukkan, per 30 September 2021, kepemilikan efek saham syariah meningkat 45,95 persen year to date (ytd) menjadi 1.600.704 investor. Jumlah kepemilikan sukuk juga naik signifikan. Kepemilikan sukuk korporasi naik 26,68 persen menjadi 945 investor. Nilai outstanding sukuk korporasi Rp 34,98 triliun dan nilai outstanding sukuk negara Rp 1.152 triliun. Jumlah kepemilikan reksa dana syariah naik 66,69 persen ytd menjadi 805.867 investor. Nilai aktiva bersih reksadana syariah Rp 40,95 triliun.
Meski melonjak tajam, sebenarnya jumlah investor saham syariah itu masih sangat kecil. Sebab, jumlah total investor saham per Agustus lalu telah mencapai 2,69 juta SID. Itu berarti, investor saham syariah baru 3,85 persen dari investor saham. Mungkin realitasnya lebih besar daripada angka tersebut. Sebab, bisa jadi banyak investor yang hanya membeli saham syariah, tetapi tidak bertransaksi melalui SOTS (sharia online trading system).
SOTS adalah suatu sistem yang dibuat beberapa sekuritas untuk memfasilitasi investor saham syariah untuk bertransaksi di pasar modal. Sistem itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga investor hanya bisa membeli saham syariah. Yaitu, saham yang memenuhi kriteria syariah menurut fatwa DSN MUI dan masuk daftar Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Loncatan investor pasar modal tersebut tentu cukup menggembirakan. Namun, itu seharusnya tidak menjadikan para stakeholder pasar modal puas. Sebab, secara keseluruhan, jumlah investor di pasar modal kita masih sangat kecil. Total investor di pasar modal –termasuk investor obligasi, sukuk, dan produk pasar modal lainnya– per Agustus lalu baru mencapai 6,1 juta SID.
Dengan jumlah penduduk produktif sekitar 189 juta, berarti baru 3,23 persen yang telah menjadi investor di pasar modal. Di Amerika Serikat (AS), lebih dari 55 persen penduduk telah menjadi investor. Sementara itu, di tetangga kita, Singapura, investor pasar modal sudah mencapai 26 persen penduduk produktif. Di Malaysia, investor pasar modal sudah 9 persen dari jumlah penduduk.
Lebih Aman
Investasi di pasar modal syariah punya beberapa kelebihan. Di antaranya, risiko relatif lebih kecil. Sebab, saham yang termasuk kategori syariah harus melalui screening yang ketat. Baik dari sisi jenis usahanya maupun kondisi keuangannya.
Secara umum, emiten syariah ada dua kategori. Pertama adalah emiten yang men-declare bahwa perusahaannya menerapkan prinsip syariah Islam. Itu, antara lain, emiten BRIS (Bank Syariah Indonesia), Bank Panin Dubai Syariah, Bank BTPN Syariah, dan Bank Net Syariah Indonesia. Kedua adalah emiten yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah sesuai fatwa DSN MUI No 40 Tahun 2003.
Kriteria saham syariah menurut fatwa tersebut ada dua. Dari sisi jenis usahanya, perusahaan itu tidak memperoleh pendapatan dari riba, gharar, spekulasi, dan barang yang haram. Selain itu, perusahaan tidak memiliki pendapatan nonhalal lebih dari 10 persen. Juga, tidak memiliki utang berbasis bunga melebihi 45 persen jika dibandingkan dengan asetnya.
Dengan screening seperti itu, saham syariah relatif lebih baik dan aman. Sebab, perusahaan yang masuk kategori syariah tidak memiliki utang berlebihan. Dengan batasan utang dibanding aset tidak melebihi 45 persen, utang maksimal perusahaan hanya 82 persen dari ekuitasnya (45:55) sehingga relatif lebih terkontrol.