Pegiat budaya asal Malang, Ki Tetuko Yongki Irawan mencoba menghidupkan kembali kesenian Nyai Puthut. Pertunjukan boneka yang melibatkan para penonton untuk memainkannya. Selama ini kesenian tersebut dianggap mistis serta menggunakan bantuan roh halus. Yongki menolak anggapan itu.
Purnama sidhi ketika hasil panen melimpah ruah, derap kaki anak-anak dan para warga menuju tanah lapang desa. Boneka Nyai Puthut dibawa ke tengah-tengah mereka. Kaki boneka tersebut dipegang oleh beberapa orang.
Sang pawang menuntun para pembawa boneka tersebut untuk berkonsentrasi. Bergeraklah boneka tersebut. Seakan ada kekuatan gaib yang menyelimutinya. Sehingga para pembawa Nyai Puthut tampak oleng, berlarian ke sana-kemari seperti dikendalikan oleh boneka tersebut.
”Seperti itulah gambaran permainan Nyai Puthut pada masa lalu. Memang diselenggarakan tiap malam purnama sidhi atau padhang mbulan. Sebagai ungkapan syukur dan kegembiraan terhadap hasil panen yang melimpah,” ungkap Yongki, pelestari kesenian tradisi Nyai Puthut.
Ia kerap menjadi pawang yang mengendalikan para pemegang boneka dan menuntun mereka untuk berkonsentrasi. Boneka Nyai Puthut terbuat dari bahan-bahan sederhana. Kepalanya dibentuk dari batok kelapa yang telah dicat dan diberi gambar wajah.
Di bagian belakang kepala boneka terdapat kayu yang memanjang ke bawah. Bagian tengahnya tersambung dengan rangka anyaman bambu untuk membuat tubuhnya bervolume.
Setelah rangka selesai, barulah Nyai Puthut dipercantik layaknya seorang perempuan. Diberi pakaian adat Jawa dan sarung jarik. Sering pula bagian kepalanya dipasang topi adat dengan rumbai-rumbai yang menjuntai.
Sejarah terciptanya permainan Nyai Puthut, berdasarkan cerita turun-temurun, berasal dari upaya petani untuk mengusir gangguan hama burung-burung pemakan padi. Para petani pun berinisiatif untuk membuat orang-orangan sawah.
Mereka menggerakkannya dari jauh untuk menakut-nakuti burung. ”Ternyata berhasil. Panen melimpah. Lalu sebagai ungkapan syukur, mereka membuat boneka mirip orang-orangan sawah yang lebih kecil. Dibentuk seperti perempuan, dinamakan Nyai Puthut,” ungkap budayawan 70 tahun itu.
Sebelum dimainkan, warga terlebih dulu berkumpul untuk mendengarkan tembang-tembang dan berbagai kisah yang mengandung petuah hidup. Kemudian mereka mengadakan slametan sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, juga kepada Hyang Batari Sri, Dewi Kesuburan atas anugerah panen berlimpah. ”Di tempat saya, Malang, sejauh ini hanya saya saja yang melestarikannya,” ujarnya.
Selama ini permainan tersebut identik dengan sesaji. Antara lain dupa, kemenyan dan berbagai bunga yang berbau harum dan mekar. Fungsi sesaji sebenarnya bukan untuk mengundang mahluk halus, melainkan sebagai pengharum ruangan untuk menambah konsentrasi dalam doa mereka.
”Tapi banyak orang menganggap bahwa kegiatan yang menggunakan sesaji adalah kegiatan berbau klenik, musyrik, pemanggil jin dan tuduhan lainnya. Padahal tidak sama sekali,” ungkap pria yang berdomisili di Sukun, Malang itu.
Permainan Nyai Puthut juga tak lepas dari tuduhan sebagai permainan menyesatkan. Karena suatu kekuatan yang membuat boneka tersebut bergoyang, mengakibatkan para pemegangnya seolah kehilangan kendali. Kekuatan itu dianggap sebagai kekuatan jin atau mahluk tak kasat mata yang datang membantu pawang. Maka para pelestari Nyai Puthut dituduh sebagai orang yang bersekutu dengan jin