Susah ya, memahami Hellbound? Memang, di dunia ini, ada fenomena-fenomena yang tidak bisa dipahami. Hehe. Yang menarik adalah bagaimana manusia merespons fenomena tersebut. Itulah yang berusaha disajikan sutradara Yeon Sang-ho lewat serial Netflix ini.
MALAIKAT tiba-tiba menjelma di depan seorang pendosa. Mengumumkan dekrit bahwa si pendosa akan mati pada suatu waktu yang telah ditentukan. Dan ia akan terbakar di neraka.
Ketika waktu yang ditentukan itu tiba, tiga eksekutor serupa monster yang terbuat dari batu neraka benar-benar datang. Tak peduli di mana tempatnya. Mereka bisa dilihat dengan mata telanjang. Bahkan oleh orang awam. Ketiganya bakal mengadili si pendosa hidup-hidup. Sebelum membakarnya sampai nyaris habis.
Tulang belulang si pendosa yang tinggal separo dan hangus itu selalu disisakan. Sebagai peringatan buat pendosa lain.
Setidaknya itulah yang dipercayai Jung Jin-soo (Yoo Ah-in), pemimpin sekte bernama New Truth—atau Kebenaran Baru. Ia mengaku menemui fenomena seperti itu kali pertama ketika berkelana di puncak gunung Tibet. Waktu berusia 20 tahun. Sekembalinya ke Seoul, ia mendirikan kelompok pemujaan untuk mengajak manusia berbuat baik.
Niat Jin-soo sebenarnya tidak salah. Ketika fenomena ’’penjemputan ke neraka’’ itu akhirnya terjadi di Korea, ia ingin melakukan siaran langsung. Kebetulan, perempuan yang baru saja menerima dekrit kematian datang kepadanya. Dia minta bantuan Jung Jin-soo untuk merawat anak-anak dia. Sebagai ’’imbalan’’, dia merelakan penghakimannya disiarkan secara langsung.
Benar saja. Ketika hari penghakiman tiba—yang belakangan disebut Demonstrasi—kematian perempuan itu bisa ditonton oleh seluruh negeri. Publik melihat sendiri, perempuan yang punya anak dari dua lelaki berbeda itu dihajar dan dibakar oleh tiga eksekutor dari neraka. Dan sejak itu, seluruh Korea sudah menjadi pengikut Kebenaran Baru.
Tidak Berhubungan
Sekte Kebenaran Baru jelas-jelas mendapatkan keuntungan dari peristiwa Demonstrasi. Nah, kalau ada kejadian seperti ini, biasanya kita langsung menebak bahwa kelompok itu memiliki kaitan langsung dengan fenomena supernatural tersebut. Namun, tebakan-tebakan kita akan dipatahkan oleh sutradara Yeon Sang-ho.
Bukan Kebenaran Baru yang ada di balik peristiwa tersebut. Mereka murni hanya memanfaatkan fenomena Demonstrasi untuk mencari pengikut. Dan benar saja. Empat tahun setelah siaran langsung itu, Kebenaran Baru sudah menguasai seluruh negeri. Doktrin-doktrin mereka semakin diterima sebagai kebenaran.
Dan seperti sekte pemujaan pada umumnya, ajaran Kebenaran Baru yang awalnya hanya mengajak orang berbuat baik, menjadi semakin melenceng. Sekte itu telah berkembang menjadi organisasi keagamaan yang sangat besar. Hingga memiliki ambisi berkuasa. Cita-cita mereka adalah memasukkan doktrin Kebenaran Baru ke dalam konstitusi. Parahnya, semakin ke sini, makin banyak doktrinnya yang terpatahkan. Membuat kita semakin bertanya-tanya, kok Tuhan begitu?
Jadi, apakah fenomena Demonstrasi itu benar-benar kehendak Tuhan? Atau itu rekaan manusia? Yang jelas, peristiwa itu adalah pembunuhan. Tapi apakah si korban benar-benar dikirim ke neraka? Atau ’’hanya’’ mati saja? Sementara arwahnya menunggu hari penghakiman massal—alias kiamat—seperti yang ada dalam kitab-kitab agama profan? Atau ya sudah, mati-mati saja jadi abu. Enggak ke alam kubur atau apa pun itu namanya.
Dengan hanya enam episode, sutradara Yeon Sang-ho—yang juga berperan sebagai penulis naskah—tidak mau repot-repot menjelaskan fenomena Demonstrasi yang memang superaneh tersebut. Daripada memberi jawaban, ia malah asyik membuat kita semakin bertanya-tanya di setiap episode. Lho, kok begini? Lho, kok begitu?
Buat sebagian penonton, gaya bercerita seperti itu membingungkan. Dan jatuhnya jadi boring. Apalagi jika melihat akhir episode 6. Pasti lebih membagong lagi. Karena Netflix jelas-jelas ingin ending menggantung yang bisa dilanjutkan ke musim berikutnya. Dan tujuan sutradara Train to Busan itu tercapai. Adegan terakhirnya memang sangat bikin penasaran.