Harian Disway - BEBERAPA waktu terakhir, saya mengunggah sejumlah video kajian yang memancing kontroversi di channel Youtube saya. Di antaranya adalah perdebatan antara dua ilmuwan Islam abad pertengahan. Yakni, Al-Ghazali vs Ibnu Sina.
Pemikiran Al-Ghazali diikuti banyak muslim di negeri-negeri Timur. Termasuk Indonesia. Sedangkan pemikiran Ibnu Sina banyak dikaji dan dianut muslim di negeri-negeri Barat. Termasuk, masyarakat nonmuslimnya.
Yang menarik, keduanya adalah ilmuwan Persia. Di zaman keemasan Islam. Di era Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Dan Andalusia yang berpusat di Spanyol.
Waktu itu kedua pemerintahan tersebut sedang moncer-moncernya. Dari sisi peradaban. Banyak memiliki ilmuwan kaliber dunia. Sehingga menjadi kiblat bagi bangsa-bangsa lainnya. Banyak mahasiswa belajar di sana. Untuk mengembangkan peradaban di negeri masing-masing.
Al-Ghazali dikenal dengan pemikiran sufistik dan mistisnya. Sedangkan Ibnu Sina dikagumi sebagai ilmuwan yang saintifik. Perbedaan mereka terlihat dari karya-karya tulisnya.
Misalnya, Al-Ghazali dengan puluhan karya fenomenalnya. Di antaranya, Ihya’ Ulumuddin, Misykatul Anwar, dan Tahafut al-Falasifah. Yang memiliki corak sufisme, filsafat Islam, dan akhlak.
Sedangkan Ibnu Sina terkenal dengan ratusan karyanya, yang bercorak saintifik di bidang kedokteran, filsafat, ilmu alam, dan seni. Di antaranya, Qanun fith-Thib, Asy Syifa’, dan Mantiq al-Masyriqin.
Dua ilmuwan itu berbeda aliran pemikiran. Lantas, terjadi perdebatan. Secara imajiner. Al-Ghazali mengkritisi pemikiran Ibnu Sina. Melalui karya-karyanya. Sebab, sesungguhnya Ibnu Sina sudah wafat ketika pemikirannya diadili Al Ghazali.
Ibnu Sina (980–1037 M) hidup di abad ke-10. Sedangkan Al-Ghazali (1058– 1111 M) hidup di abad ke-11. Jadi, mereka tidak pernah bertatap muka. Namun, debat pemikirannya terabadikan sampai kini. Yakni, ketika Al-Ghazali mengkritik Bapak Kedokteran Modern itu dalam sebuah buku berjudul Tahafut al-Falasifah. Yang diterjemahkan secara bebas: ”Kerancuan Filsafat”.
Ibnu Sina memang ilmuwan yang filsuf. Corak pemikirannya banyak dipengaruhi filsafat Yunani. Khususnya, Aristoteles. Yang berbasis pada logika, rasionalitas, dan empirisme. Alias, pembuktian-pembuktian secara saintifik.
Termasuk ketika ia memahami keislaman. Pendekatannya adalah saintifik. Yang logis dan rasional. Sehingga bertabrakan dengan pemikiran Al-Ghazali yang bercorak sufisme dan mistik.
Al-Ghazali khawatir terhadap pemikiran Ibnu Sina dalam memahami ajaran Islam. Termasuk soal teologi. Yakni, saat itu, pemikiran filsafat Ibnu Sina tersebut menjadi tren yang diikuti pemikir-pemikir generasi berikutnya. Dan memiliki pengaruh luas bagi kebangkitan dan kemajuan Eropa. Di abad-abad selanjutnya.
Tentu saja, Ibnu Sina tidak bisa menjawab kritik Al-Ghazali. Sebab, ia sudah wafat. Akan tetapi, ternyata debat itu berlanjut. Di masyarakat luas. Khususnya, di kalangan para ilmuwan dan pemikir Islam. Dari kedua kubu yang berbeda. Mistikisme vs sains.
Baru di abad berikutnya, muncul karya tulis yang menjawab kritik Al-Ghazali itu. Yakni, dari Ibnu Rusyd. Seorang pemikir kenamaan Andalusia, Spanyol. Penerus pemikiran Ibnu Sina. Yang hidup di abad ke-12 (1126–1198 M).
Di Barat, Ibnu Rusyd dikenal dengan nama Averroes. Yang juga menjadi inspirasi bagi kebangkitan Eropa melalui sains dan teknologinya. Bahkan, pemikirannya melahirkan aliran yang disebut sebagai Averroisme. Yang banyak dikaji para pemikir Barat. Bahkan, sampai mengguncangkan pemikiran gereja. Yang dogmatis. Dan, bertabrakan dengan para ilmuwan yang saintifik.