Satu pekerjaan selesai, dua tiga pekerjaan lain menanti.
Pernyataan di atas sepertinya cukup untuk mewakilkan bagaimana anak muda pada zaman sekarang seakan terobsesi untuk berlomba-lomba untuk menjadi ’produktif’.
Kata produktif sendiri tidak memiliki makna yang salah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), produktif diartikan sebagai kegiatan yang dapat memberikan hasil atau manfaat.
Sayang, di era digital dan semakin cepatnya arus informasi seperti saat ini, kata produktif tampak menjadi konotasi negatif. Itu mengurung anak-anak muda bagai sekte khusus untuk membuat mereka menjadi ’terobsesi’ melakukan aktivitas yang dianggap ’produktif’.
Bila sehari saja tidak melakukan beberapa pekerjaan yang dianggap ’produktif’, maka raga dan jiwa ini seakan penuh kehinaan. Membuat kita harus segera menebus kekurangan tersebut dengan terus mencari kesibukan.
Bukan hal yang salah untuk senantiasa menjaga semangat dan terjaga dengan kesibukan. Namun bagaimana jika produktivitas yang selama ini dielu-elukan malah mengikis nilai dari kehidupan kita sendiri?
Hal inilah yang kemudian penulis sebut sebagai adiksi semu yang membunuh perlahan bernama produktivitas toksik (toxic productivity). Istilah toxic productivity semakin marak digunakan untuk menjelaskan kesibukan dan kegiatan produktif yang dilakukan secara berlebihan.
Menukil penjelasan dari Dr. Sandra Chapman selaku direktur Dallas Center di Universitas Texas, toxic productivity diibaratkan sebagai adiksi tidak berujung layaknya orang yang candu dengan narkoba atau obat-obatan terlarang yang bisa membuat seseorang ketergantungan.
Adiksi tersebut bagi sebagian ahli bisa menyebabkan kerusakan pada otak dan menjadi pemicu dari seseorang berperilaku kompulsif (dorongan yang tidak tertahankan untuk melakukan sesuatu secara terus-menerus).
Kita seakan ditempa untuk selalu produktif, bekerja terus menerus, dan menganggap waktu istirahat atau bersantai sebagai bentuk kesia-siaan.
Tanpa sadar, kita terus menekan diri sendiri untuk mengejar produktivitas tersebut tanpa benar-benar tahu aspek penting yang seharusnya kita cari tahu sejak awal: apa manfaat produktivitas tersebut untuk diri kita sendiri?
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh The Wall Street Journal pada 2019, 54 persen anak muda di rentang usia generasi Z (9-24 tahun) mengalami gangguan kecemasan dan burnout akibat melakukan aktivitas ’produktif’ secara berlebihan.
Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa aktivitas yang selama ini mereka kira produktif dan bermanfaat, malah mendekatkan mereka ke toxic productivity yang berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Layaknya sebuah racun, toxic productivity telah merenggut sebagian besar ’nyawa’ anak muda, bahkan bisa menjadi salah satu penyebab utama dari menurunnya ketahanan anak muda dalam menghadapi tekanan mental yang memicu stres dan penyebab dari tingkat depresi yang cukup tinggi.
Perdebatan mengenai penyebab dari toxic productivity ini sebenarnya cukup beragam. Apabila mengutip dari Psychology Today, toxic productivity bisa disebabkan karena dorongan internal; berangkat dari semangat kerja keras yang tinggi yang tumbuh menjadi obsesi.