Hustle Culture

Sabtu 04-12-2021,06:34 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Setiap orang pasti memiliki produktivitas atau kesibukan. Dalam sudut pandang ini kerja keras sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan hingga memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi, bukan berarti hidup semata-mata untuk bekerja.

Jika seorang penggila kerja atau workaholic, bisa jadi terperangkap gaya hidup hustle culture. Hustle culture merupakan sebuah gaya hidup yang membuat seseorang merasa dirinya terus bekerja keras hanya meluangkan sedikit waktu untuk istirahat.

Dengan begitu ia dapat menganggap dirinya sukses. Beberapa orang menyebut gaya hidup ini dengan istilah ”gila kerja”. Jika ditinjau kembali hustle culture ini di sudah ada sejak 1971.

Kini dengan perkembangan zaman, seperti zaman seperti peran media sosial, kultur ini menyebar begitu cepat terutama di kalangan milenial. Beberapa laporan seperti yang dilaporkan di Forbes mengatakan terdapat 55 persen pekerja di Amerika Serikat mengalami stres karena pekerjaannya.

Mental Health Foundation di UK mengatakan 14,7 persen pekerja di Inggris mengalami gangguan kesehatan mental akibat pekerjaan. Sementara The Guardian melaporkan satu dari lima pekerja di Jepang menghadapi ancaman kematian dalam artian bunuh diri disebabkan oleh overwork.

Di Indonesia sendiri satu dari tiga pekerja mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja yang berlebih.

Produktivitas telah menjadi unsur penting dalam kehidupan, terutama pada Generasi Y dan Z yang telah menjadi penduduk produktif serta masuk ke dalam dunia kerja. Sehingga, para generasi muda akan bekerja keras menyiapkan diri dan mencetak pengalaman karier yang baik.

Glorifikasi rasa bangga terkait produktivitas jam kerja yang panjang dan budaya kompetitif menjadi salah satu pemicu dari hustle culture. Glorifikasi gila kerja atau pemuliaan gila kerja merupakan hal yang lazim untuk generasi muda saat ini.

Semua berlomba menjadi yang tersibuk mengorbankan waktu istirahat, kehidupan sosial dan kesehatan dengan harapan semua kerja keras itu menghasilkan kesuksesan.

Selain itu di masa pandemi ini dengan maraknya dan kian menjamurnya seruan agar tetap produktif di rumah harus bisa menghasilkan sesuatu atau mempelajari skill baru memunculkan tren hustle culture yang perlu kita sikapi dengan bijak.

Orientasinya pun kadang berubah. Awalnya sebagai sarana pengisi kegiatan selama pandemi dan sekadar memanfaatkan waktu luang. Lantas berubah menjadi sebuah mindset bahwa hal ini harus dilakukan sebagai bentuk aktualisasi diri dan perlombaan antar individu.

Media sosial ikut mempermudah fenomena hustle culture. Dampak langsung dari gerakan WFH (work from home) serta stay at home selama pandemi Covid-19 adalah peningkatan traffic penggunaan media sosial yang cukup signifikan.

Data dari kominfo pada masa pandemi potensi peningkatan trafik penggunaan media sosia akan naik sekitar 40 persen. Berdasarkan hasil survei dari Lembaga Kantar, di Indonesia, pengguna Whatsapp mengalami kenaikan mencapai 40 persen. Sedangkan di negara lain, lonjakan pengguna Whatsapp mencapai sekitar 51 persen.

Pengguna Instagram juga tak kalah mengalami kenaikan. Pada bulan April diperoleh data pengguna yang mencapai 65,7 juta, hingga pada Mei terdapat 69,2 juta pengguna.

Orang-orang yang terjebak di dalamnya dengan mudah mempertontonkan image Hustle dan dianggap sebagai sosok ideal, teladan dalam bekerja. Munculnya slogan-slogan seperti ”jangan berhenti sebelum sukses” mendorong semakin orang terjebak dalam bahaya ini.

Tags :
Kategori :

Terkait