Sinyal APBD Jatim

Rabu 08-12-2021,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - APBD Provinsi Jawa Timur 2022 telah ditetapkan. Nilainya Rp 29,45 triliun. Turun cukup besar, Rp 7,98 triliun, jika dibandingkan dengan APBD 2021. Angka itu setara dengan penurunan 21,3 persen.

Penurunan anggaran pemprov itu memberikan sinyal bahwa tahun depan belum akan normal. Itu bisa dilihat dari proyeksi pemprov yang cukup rasional terhadap pendapatan tahun depan. Pemprov hanya memproyeksikan pendapatan Rp 27,64 triliun. Pendapatan yang diproyeksikan turun drastis justru dana perimbangan keuangan dari pemerintah pusat.

Itu juga sekaligus memberikan sinyal bahwa ekonomi Jawa Timur tahun depan belum akan baik. Sebab, bagaimanapun, anggaran pemerintah daerah cukup berdampak pada perekonomian. Bahkan, dalam situasi tertentu, hanya anggaran pemerintah yang bisa diandalkan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi daerah.

Dalam berbagai studi pada provinsi-provinsi di Indonesia, hubungan antara belanja pemerintah daerah terhadap perekonomian cukup erat. Dalam bahasa statistik, tingkat hubungannya melebihi 0,72 yang berarti cukup kuat. Begitu juga, tingkat pengaruhnya berkisar 1,17 hingga 2,96 yang berarti bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah daerah memengaruhi kenaikan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga sebaliknya.

Ya, dalam pandangan John Maynard Keynes, pengeluaran pemerintah merupakan salah satu unsur permintaan agregat. Konsep perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran menunjukkan bahwa pendapatan nasional dipengaruhi konsumsi masyarakat, investasi swasta, pengeluaran pemerintah, serta selisih ekspor dan impor.

Dengan begitu, penurunan signifikan belanja pemerintah –yang mencapai lebih dari 20 persen– bisa berdampak buruk pada perekonomian Jawa Timur. Tentu saja, perekonomian di daerah juga dipengaruhi APBD di kabupaten/kota masing-masing. Juga, anggaran daerah dari pemerintah pusat seperti anggaran dana desa (ADD), dana sosial pemerintah seperti program keluarga harapan (PKH), dana pemulihan ekonomi, dan sebagainya.

Elastisitas anggaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tentu sangat bergantung pada daerahnya. Rostow dan Musgrave menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut.

Pada tahap awal, pengaruh belanja pemerintah terhadap perekonomian sangat besar. Sebab, pemerintah perlu menstimulus perekonomian dengan menyediakan infrastruktur perekonomian: sarana pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya.

Pada tahap menengah, belanja pemerintah diperlukan untuk menstimulus perekonomian. Namun, peran investasi swasta sudah cukup besar. Pada tahap lanjut, pembangunan ekonomi dan aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan program pelayanan kesehatan masyarakat. Infrastruktur perekonomian sudah siap dan peran investasi swasta sudah sangat besar.

Semoga saja Jawa Timur sudah tidak berada di tahap awal. Meski, Jatim masih memerlukan investasi pemerintah yang besar untuk menyediakan infrastruktur. Ada banyak PT infrastruktur Jatim yang belum beres: jalur lintas selatan (JLS), tol yang membelah bagian utara Jawa ke selatan, tol dan bandara Kediri, dan sebagainya.

Jika melihat pos-pos dalam APBD Jatim, anggaran untuk infrastruktur cukup kecil, Rp 3,85 triliun atau sekitar 13,1 persen. Begitu juga anggaran ekonomi, hanya Rp 1,64 triliun atau 5,56 persen. Sementara itu, pos sosial yang biasanya digunakan sebagai jarring pengaman sosial hanya Rp 2,35 triliun (7,98 persen). Pos terbesar dalam APBD adalah penyelenggaraan pemerintahan yang mencapai Rp 8,72 triliun (29,61 persen) dan pendidikan Rp 7,98 triliun (27,09 persen).

Dengan anggaran terbatas, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tahun 2022 sangat diharapkan didukung anggaran pemerintah kabupaten/kota. Juga, tentu saja, investasi swasta.

Tahun ini investasi di Jatim cukup bagus. Hingga September, Jatim mencatatkan realisasi investasi Rp 52,7 triliun. Capaian tersebut mendudukkan Jatim di posisi ketiga setelah Jawa Barat (Rp 107,2 triliun) dan DKI Jakarta (Rp 72,5 triliun).

Kinerja investasi Jatim di periode ini masih didominasi PMDN dengan nilai Rp 36,4 triliun. Sedangkan PMA memberikan kontribusi Rp 16,3 triliun. Pada periode ini, investasi Jatim didominasi sektor industri makanan dengan nilai Rp 10,5 triliun. Itu setara dengan 19,9 persen dari total investasi Jatim.

Dengan penurunan belanja yang signifikan tahun depan, Pemprov Jatim harus benar-benar memaksimalkan investasi swasta untuk mendongkrak perekonomian. Jika tidak, harapan pertumbuhan 5–5,8 persen tahun 2022 akan sulit diwujudkan.

Tags :
Kategori :

Terkait