Tuntutan hukuman mati Heru di perkara Asabri ternyata terkait dengan perkara Jiwasraya. Tidak berarti, ia sudah dihukum seumur hidup, lalu dihukum mati pula. Seperti pengadilan Amerika Serikat yang bisa menjatuhkan hukuman mati tiga kali. Bukan begitu. Tapi, jaksa mengaitkan Asabri dengan Jiwasraya.
Penjelasan jaksa begini: Terdakwa melakukan kejahatan serius. Melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999, memberikan penerapan pidana mati, sebagaimana dalam pasal 2 ayat 2 yang menentukan bahwa dalam hal tipikor sebagaimana dimaksud ayat 1, dalam keadaan tertentu dapat dihukum mati.
”Keadaan tertentu”, sebagaimana Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 yang dimaksud keadaan tertentu yang dapat dijadikan alasan pemberat pidana bagi pelaku tipikor, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tipikor.
Tidak ada penjelasan mengenai pengertian secara resmi dalam keadaan di atas sehingga sangat penting memberikan pemahaman dan penjelasan serta batasan yang jelas dalam keadaan dimaksud, khususnya pengulangan tindak pidana.
Maka, ada dua konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan sebagai pengulangan. Yaitu, di perkara korupsi Jiwasraya dan perkara korupsi PT Asabri. Keduanya dipandang sebagai niat dan objek yang berbeda meski periode waktunya bersamaan.
Intinya, Heru melakukan dobel korupsi, di dua lembaga milik negara. Bisa ditafsirkan, di Jiwasraya sudah dihukum seumur hidup, masak di Asabri dihukum seumur hidup juga?
Menanggapi tuntutan hukuman mati Heru, pengacara Heru, H.B.H. Kresna Hutauruk, kepada wartawan, Senin (6/12), mengatakan:
"Tuntutan mati, jelas tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan. Sebab, hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat 2. Sedangkan dalam dakwaan Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam dakwaannya."
Kresna mengatakan, jaksa mendakwa Heru dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU. Dengan demikian, ia menilai tuntutan jaksa di luar dakwaan.
Dilanjut: "Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan di luar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power."
Mungkin, pernyataan tersebut akan dimasukkan ke pleidoi (pembelaan) Heru.
Setelah itu, terserah majelis hakim menentukan vonis. Apakah ini bakal jadi vonis mati kedua bagi koruptor? Atau tidak? (*)