Bisakah Pemerkosa Santriwati Jadi Kasim?

Sabtu 11-12-2021,17:10 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Heboh parah. Guru agama Herry Wirawan, 36, memerkosa 12 santriwati usia 13–16 tahun sejak 2016 hingga 2021. Mereka melahirkan total sembilan anak. Herry diadili di PN Bandung mulai Selasa (7/12). Muncul wacana kebiri.

Harian Disway - SIDANGNYA tertutup. Para wartawan cuma mendapatkan surat dakwaan jaksa Rabu (8/12). Di situ diurai lengkap.

Herry Wirawan guru sekaligus pengelola Pondok Pesantren Tahfidz Madani di Cibiru, Bandung.

Sejak 2016 Herry memerkosa santriwati yang masih remaja. Dengan ancaman, santriwati akan dikeluarkan dari pesantren jika tidak menurut pada Herry.

Dari awalnya satu santriwati diperkosa, kemudian dilakukan pada santriwati lainnya di ponpes tersebut. Sampai 12 santriwati diperkosa, kemudian menjadi kebiasaan, dan bergiliran.

Santriwati yang masih anak-anak itu satu demi satu melahirkan anak. Sampai total sembilan bayi. Kini sudah balita. Dan, dua janin lagi masih dalam kandungan.

Herry menggauli para santriwati di berbagai tempat. Kebanyakan di kamar santriwati di ponpes. Juga, di Ponpes MH, tempat Herry juga mengajar. Kadang di apartemen TS di Bandung.

Juga, di beberapa hotel di Bandung. Antara lain, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R. Sebab, tidak memungkinkan hubungan seks selalu di ponpes yang banyak murid tinggal di situ.

Dana untuk menyewa apartemen dan hotel-hotel itu diduga dari uang sumbangan berbagai donatur untuk pesantren yang ia kelola.

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut Diah Kurniasari menyelidiki kasus itu sejak beberapa bulan lalu. Diah kepada wartawan, Kamis (9/12), mengatakan:

"Dari 12 santriwati yang jadi korban, 11 dari Garut. Seorang dari Bandung. Yang dari Garut berasal dari dua kecamatan. Mereka bersaudara, punya kekerabatan, juga bertetangga. Jadi, rombongan dari Garut. Rame-rame mondok di situ."

Mengapa rombongan dari Garut?

”Karena ia (Herry Wirawan) dan istrinya asal Garut. Cuma sudah cukup lama tinggal di Bandung,” jawab Diah.

Dilanjut: ”Sebenarnya mereka sekolah mondok di sana karena gratis. Mohon maaf, orang tua para korban kurang berada. Jadi, karena gratis, anak-anak mereka mondok di sana.”

Para orang tua korban adalah warga sangat sederhana. Mereka bekerja sebagai buruh tani, tukang bangunan, pekerja serabutan, tukang servis jok, tukang sayur, tukang ojek.

Tags :
Kategori :

Terkait