Menggugah Pesan Lebih Merah Putih

Senin 27-12-2021,09:53 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Jika ditotal, waktu yang dibutuhkan sejak pertama kali memulai film hingga selesai, hampir mencapai dua tahun. ”Boleh dibilang membuat film sejarah tidaklah mudah. Ada harga yang harus dibayar,” tutur Ryza.

Melihat proses di balik pembuatan film yang sangat luar biasa itulah maka Ryza selalu berbagi tentang perjalanan produksi film kepada setiap penonton. Seperti untuk Perlima kali ini. ”Ini adalah film perdana dari Temata Studios yang dipersembahkan untuk Indonesia,” tutur Ryza.

Mendengar tuturan Abi dan Ryza, 30 peserta nobar yang pertama kali diadakan Perlima bekerja sama dengan Temata Studios itu sangat mengapresiasi tinggi.

Mereka kompak mengatakan bahwa Kadet 1947 bukanlah film biasa. Sejarah yang ditampilkan telah dikemas dengan baik. Plus drama dan kisah cinta yang manis.

Bukan pula film dokumenter. Melainkan film yang memberi warna baru pada sebuah kisah perang. Tentu saja tetap memberikan pengetahuan dalam cerita yang hampir terlupakan di Maguwo pada 1947.

Evi Suryani, anggota Perlima yang menyampaikan apresiasinya pada “Kadet 1947’ sekaligus bertanya kepada sutradara Rahabi Mandra dan eksekutif produser Tesadesrada Ryza. (Yoni Astuti untuk Harian Disway)

Evie Suryani, anggota Perlima, tampak menitikkan air mata melihat kegigihan para kadet yang berjuang demi Indonesia. Menurutnya, film seperti inilah yang harus disaksikan para pelajar Indonesia. ”Film yang mengumandangkan kata merdeka dan memantik rasa kebangsaan,” katanya.

Agung Sapto Utomo, pecinta film perang, ikut kagum. Kadet 1947 mampu menyuguhkan adegan heroik yang memacu adrenalin, sisi romantis, dan adegan lucu sekaligus. ”Saya salut karena yakin risetnya tidak gampang. Jarang ditemukan film di Indonesia yang mengambil latar Angkatan Udara,” katanya.

Stebby Julionatan, penulis yang ikut serta acara nobar menyampaikan pendapatnya (Yoni Astuti untuk Harian Disway)

Selain berbagi pengalaman, Abi menyempatkan menjawab pertanyaan peserta nobar yang cukup banyak. Seperti dari Stebby Julionatan, penulis Probolinggo. Ia bertanya tentang kegelisahan personal yang mendasari Abi membuat film.

Kadet 1947, bagi Abi, mengungkapkan keresahannya tentang sesuatu yang diberikannya kepada negara pada usianya yang sekarang. Tampak dari tokoh-tokoh yang diangkat dalam film memiliki rentang usia yang hampir sama.

Sehingga Abi merasa itulah yang harus diangkatnya dalam film. ”Harus ditunjukkannya kepada dunia bahwa para kadet yang masih berusia dua puluhan ini telah memberikan segalanya demi Indonesia,” terangnya.

Para perwira dalam film ini memang berusia muda. Seperti Adi Sucipto yang berusia 31 tahun ketika menjabat sebagai kepala sekolah Maguwo. Sudirman berusia 32 tahun saat menjabat sebagai Panglima Besar.

Tjahjani R. Wilis, Ketua Perlima, saat menyampaikan sambutan sembari memberikan ucapan selamat atas kesuksesan film ”Kadet 1947”. (Yoni Astuti untuk Harian Disway)

Tak lupa ada sosok Halim Perdanakusuma yang berani berperang melawan Hitler di Inggris, juga masih berusia dua puluhan. Dalam film, dikisahkan bahwa Halim dipanggil kembali ke Indonesia untuk membantu perjuangan di Maguwo.

Tentang Jendral Sudirman, Ketua Perlima Tjahjani R Wilis, mengaku terkejut. Dia tak mengira bisa menyaksikan sosok Jendral Sudirman yang penuh wibawa dalam Kadet 1947. ”Saya sangat haru. Saya mengucapkan selamat dan ikut bangga atas film ini,” ujarnya, dalam sambutan.

Tags :
Kategori :

Terkait