Fusi Horison di Usia 60

Kamis 30-12-2021,09:47 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Desemba menggabungkan antara matematika sebagai ilmu pasti dan seni rupa sebagai medium berekspresi yang bebas. Tujuannya merespons persoalan.

Konon matematika adalah mother of sains. Secara nyata, segala kehidupan bahkan menyangkut diri memang tak lepas dari gerak matematis. Metabolisme tubuh, kebiasaan manusia dan sebagainya. Matematika sebagai ilmu pasti tentu tak sepenuhnya berlaku bagi sebuah karya seni.

Meskipun prosesnya mengikuti kaidah matematis, hasil akhirnya cenderung bebas, liar, dan sering kali tak bisa dipersepsi secara pasti. ”Itu juga yang saya rasakan. Selanjutnya adalah menyelaraskan keduanya untuk merespons persoalan,” ujar pria pemilik nama lengkap Desemba Sagita Titahelluw itu.

Banyak karya Desemba memanfaatkan simbol-simbol matematika. Dipakai untuk menelaah persoalan menggunakan perspektif seni rupa sekaligus matematika.

Hasrat Kuasa

Tentu tak mudah. Sebab bila tak cermat dan peka, hasil penggabungan itu bisa jadi hanya akan tampak layaknya puisi kamar ala Danarto. Terdiri dari bidang-bidang datar atau garis-garis. Bukan karya seni rupa. Batasan itulah yang berhasil diatasi Desemba.

Seperti pada Hasrat Kuasa. Mencermati karya Desemba perlu membuka-buka kembali buku filsafat atau sejarah pemikiran modern, memelajari rumusan-rumusan matematis, berikut peran tandanya, lantas menghubungkannya. 

Hasrat Kuasa identik dengan filsafat Friedrich Nietzsche. Dalam Sabda Zarathustra ia menjabarkan bahwa hal yang paling mendasar dalam diri manusia adalah kehendak untuk berkuasa. 

I See God

Di satu sisi, Nietzsche mewanti-wanti agar manusia mewaspadai kehendak yang terlalu besar dan ambisius.Misalnya mengejar kekuasaan untuk memenuhi ego atau self-glory. 

Desemba mencoba mengejawantahkan kehendak untuk berkuasa ala Nietzsche dalam bentuk visual, dengan ikon-ikon matematika tadi. ”Ikon-ikon itu sebagai pilihan untuk selanjutnya digunakan sebagai operasi matematik,” ungkapnya.

Manusia bebas memilih apa saja dari ikon matematika, merangkainya sesuai dengan kaidah, atau malah memanfaatkan sesuka hatinya. Sama pula dengan sifat sebuah kehendak yang selalu identik dengan hitungan matematis. Bahkan terkadang menyangkut persoalan untung-rugi.

Pendek kata, ikon-ikon matematika adalah sebuah pilihan yang dapat diperlakukan atau dimanfaatkan secara positif. Begitu juga sebaliknya.

Ada pula Post Truth. Karya tersebut memuat angka 1 dengan simbol berlawanan atau tidak sama dengan 1. Padahal 1 adalah 1 jika dilogikakan. 

Post Truth

Konteks Post Truth adalah fenomena yang terjadi belakangan ini. Misalnya penyebaran hoax atau sebuah kesalahan jika disuarakan terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran. ”Cara itu dapat mengubah sudut pandang masyarakat,” ujar pria 60 tahun itu.

Kadang kala seseorang menginterpretasi suatu hal dan menjustifikasi benar salahnya, berdasar latar belakang pengetahuannya. Misalnya dari sisi religiusitas. Sering kali religiusitas pun turut menentukan cara pandang seseorang.

Maka, dalam lukisan Post Truth, Desemba menuang objek salib berwarna merah yang samar. ”Awalnya hanya bias spanram yang terkena cat saja. Tapi karena artistik, saya biarkan. Ternyata bisa memberi nilai tambah untuk pemaknaannya,” terangnya. 

Tags :
Kategori :

Terkait