Terlebih, Desemba adalah penganut Kristen yang taat. Jadi cukup sesuai.
Sejak kecil, Desemba gemar ilmu matematika. Ia semakin mendalaminya saat kuliah di ITS Surabaya jurusan Matematika pada 1981.
Niat Desemba menjadi ilmuwan. Namun darah seninya turut bergolak. “Pada satu titik, saya merasa tidak ideal untuk menjadi seorang saintis. Saya lebih srek dengan kehendak untuk menjadi orang bebas,” katanya.
Pascakuliah, ia tak langsung terjun di dunia seniman. Desemba bekerja di sebuah dealer otomotif ternama. Ia memegang komputer perusahaan dan bekerja dalam bidang pengolahan data. ”Waktu itu lulusan matematika hanya sedikit alias langka,” ujar perupa yang berdomisili di Pucang Sawit, Surabaya itu.
Merasa jenuh bekerja, Desemba memutuskan keluar dan menemukan muara kebebasannya di bidang seni rupa. Sejak 2006, ia telah beberapa kali mengikuti even pameran lukisan bersama. Waktu itu ia masih mencari-cari karakter lukisannya.
Sampai ketika Desemba melukis sebuah gasing yang sedang berputar. Dari gerak gasing, ia mengetahui bahwa secara matematis, gasing dapat berputar dengan kencang, dan itulahyang membuatnya seimbang. ”Tidak roboh atau stabil.Rumusan itu biasa dipakai dalam teknologi, misalnya, pesawat terbang atau baling-baling kapal,” ungkapnya.
Berkat gasing, Desemba berpikir untuk menggabungkan antara matematika sebagai pendukung visual dalam lukisannya sehingga menciptakan karya yang unik
Dalam karier melukisnya, ia sempat pula bereskplorasi dengan botol. Karya-karya Desemba ketika itu identik dengan botol. “Setelah puas menekuni dan melukis botol, barulah saya intens melukis dengan ikon-ikon matematika,” terangnya.
Karya yang mengulik objek botol adalah karya lama Desemba yang berjudul The End of Ideology. Ia menempatkan sebuah botol bergambar Karl Marx yang sedang terjatuh. Sementara botol satunya bergambar Lady Gaga. Menyimbolkan bahwa kapitalisme beserta segala gaya hidup masa kini telah menjadi pemenang.
Meski telah cukup dikenal sebagai pelukis, Desemba masih menerima pesanan berupa lukis wajah. Ia menyebutnya ”lukisan roti”. ”Artinya, lukisan yang dimanfaatkan untuk kepentingan komersil. Supaya dapur di rumah tetap ngebul,” tuturnya.
Bagi Desemba, idealismenya adalah lukisan yang memuat ikon-ikon matematika. ”Kalau soal pameran saya tetap memajang lukisan-lukisan ikon matematika. Kalau untuk menjaring penghasilan ya lukisan roti itu,” katanya.
Hingga kini Desemba selalu konsisten melukis dengan ikon matematika. Pun dalam pameran tunggal seni rupanta yang terakhir bertajuk Nuansa Horisan pada 10-17 Desember 2021 di Rumah Budaya Jalan Mawar 14 Surabaya. Dalam pameran yang menandai perjalanan enam dasawarsa Desemba itu, ia menunjukkan kegemarannya menghubungkan matematika sebagai ilmu pasti dan karya seni yang cenderung bebas.
Maka dalam artikel-artikel yang ditulis oleh penikmat karyanya, lukisan Desemba disebut sebagai fusi horison. Benturan antara bayang-bayang dan angan-angannya berlintasan di berbagai tempat dan bidang yang jelas hingga tidak jelas.
Proses fusi tersebut berhasil menciptakan karya dengan karakter khas. Ikon matematika yang berguna pula untuk merespons segala permasalahan yang terjadi dalam realitas di depan mata. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)