Tiongkok, Indonesia, dan Jebakan Negara Kaya

Senin 03-01-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Harian Disway - SATU di antara banyak hal yang layak dipelajari dari pemerintah komunis Tiongkok adalah sikap tidak latahnya. Mereka memang mau mempelajari apa saja dan dari mana saja. Walakin, yang akan mereka serap cuma unsur-unsur positif yang dipandang berguna bagi kemajuan bangsanya.

Selain itu, yang negatif, akan mereka buang atau pereteli untuk kemudian dimodifikasi sebelum coba dipakai. Intinya, seperti ditulis Az-Zarnūjī dalam kitab masyhur Ta’līm al-Muta’allim, ”Khuż mā ṣafā, wada‘ mā kadar.” Ambil yang jernih, buang yang keruh.

Contohnya terkait sistem ekonomi. Pemerintah komunis Tiongkok menyerap unsur-unsur positif kapitalisme, tapi melempar jauh-jauh liberalisme. Lalu, diciptakanlah apa yang mereka namai sebagai ”sosialisme berkarakteristik Tiongkok”.

Sekalipun, boleh-boleh saja kalau kita mau melabelinya sebagai ”kapitalisme KW”. Sebab, sistem ekonomi yang diterapkan Tiongkok sejak awal ’80-an itu disebut sosialisme bukan, disebut kapitalisme pun bukan. Namun, unsur-unsur positif keduanya sama-sama teroplos dengan baik di dalamnya. Yin dan yang teracik dengan seimbang.

Sikap tidak latah pemerintah komunis Tiongkok itulah yang, menurut saya, menjadi salah satu penyebab penting kenapa Tiongkok bisa semaju sekarang.

 

Supaya Tetap Miskin

Negara-negara Barat yang kaya lebih awal acap menjajakan –sering pula dengan paksaan– resep kekayaannya kepada negara berkembang. Katanya, untuk bisa menjadi kaya seperti mereka, haruslah diterapkan ”kebijakan yang baik” (good policies) dan ”institusi yang baik” (good institutions) secara cepat dan menyeluruh.

Yang dimaksud ”kebijakan yang baik” itu terkristal dalam apa yang dikenal dengan sebutan Konsensus Washington, yakni liberalisasi ekonomi. Sedangkan yang dikategorikan ”institusi yang baik” ialah institusi yang lumrah ditemui di negara kaya, terutama di Amerika Serikat (AS), yaitu demokrasi.

Padahal, Ha-joon Chang mengungkap fakta sebaliknya: negara-negara Barat yang mempropagandakan liberalisasi ekonomi dan demokrasi itu sejatinya tidak pernah menjalankannya saat mereka masih melarat, dulu. Justru, yang dilakukan mereka kala itu adalah menjalankan apa yang sekarang mereka tantang habis-habisan: proteksionisme dan ”demokratisasi bertahap”.

Dalam mahakaryanya, Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective (2002) yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin sebagai Fuguo Xianjing (Jebakan Negara Kaya), Chang menelusuri perjalanan negara-negara kaya semacam Inggris dan Amerika Serikat sejak masih miskin hingga menjadi sekaya saat ini. Guru besar di University of Cambridge itu memulai penelusurannya dengan pertanyaan, ”How did the rich countries really become rich?” Bagaimana sebenarnya negara-negara kaya menjadi kaya?

Chang menemukan, tatkala masih miskin, negara-negara kaya itu ternyata juga menjalankan kebijakan proteksionisme, khususnya terkait industri, perdagangan, dan teknologi (ITT). Melalui insentif pajak, mereka melindungi industri-industri dalam negeri yang rentan (infant industry) terhadap gempuran kompetitor dari luar negeri. Konkretnya, industri nasional berorientasi ekspor mereka pajaki rendah, sedangkan barang impor dari negara lain mereka kenai bea masuk tinggi.

Tidak hanya itu, ketika berada pada fase pembangunan yang sama dengan negara berkembang saat ini, institusi mereka juga belum bisa dibilang sepenuhnya demokratis. Di AS, misalnya, tidak semua warga negaranya langsung mempunyai hak pilih begitu pemilu dijalankan. Perempuan dan warga kulit hitam perlu waktu yang amat panjang untuk bisa mempunyai hak pilih yang sama dengan warga kulit putih.

Dari situ Chang menyimpulkan, ”tangga” yang dipakai negara-negara Barat untuk mencapai kekayaannya bukanlah demokrasi ataupun liberalisasi ekonomi (laissez-faire), melainkan proteksionisme berupa intervensi negara (state interventionism) terhadap industri-industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dan, kalaupun demokrasi tetap mau dianggap berperan, itu bukan ”demokrasi dadakan”, melainkan ”demokrasi gradual” yang diterapkan seiring menguatnya fondasi ekonomi dan pendidikan masyarakatnya.

Karena itu, dengan memaksa negara lain melakukan liberalisasi ekonomi dan politik, Chang mencurigai negara Barat sengaja ”menendang tangga yang dulu pernah mereka naiki” agar negara lain tidak bisa memakainya untuk ikut menjadi kaya seperti mereka.

Tags :
Kategori :

Terkait