Selingkuh Hotel

Selasa 04-01-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Pusat keramaian menjadi bergeser. Dari alun-alun ke Jalan Pahlawan. Jalan yang berjajar warung pecel khas Madiun yang nyamleng. Bersih dan nyaman.

Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko yang baru setahun memimpin juga menyulap Jalan HOS Cokroaminoto menjadi cantik. Punya jalur pedestrian lebar dan lampu jalan yang antik.

”Akan saya sambung ke Jalan Jenderal Sudirman. Tahun 2022, Kota Ponorogo akan jadi kota yang indah,” kata bupati yang berlatar belakang orang marketing itu.

Bupati Magetan Suprastowo juga membuat berbagai inovasi yang membikin warganya senang. Meramaikan pasar tradisionalnya. Dengan hanya menjadikan pasar juga sebagai pusat layanan publik.

”Dengan demikian, pengunjung pasar menjadi tambah ramai. Para pedagang tradisional pun menjadi ikut senang,” katanya. Kebetulan pasarnya memang berada di tengah kota dan jalan protokol.

Rupanya makin banyak kepala daerah yang telah dengan nyata bekerja keras untuk menyenangkan warganya. Mulai mempercantik kota sampai memperbaiki layanan publiknya.

Bahkan, mereka seakan berlomba menjadi lebih baik dari kota-kota di sekitarnya. Dengan berbagai terobosan yang tidak hanya mengandalkan kemampuan APBD.

Fenomena seperti itu bisa terjadi setelah berlangsung pemilihan kepala daerah secara langsung. Mereka cenderung mengambil hati rakyat dengan memenuhi kebutuhannya.

Setidaknya ada semangat membuat perubahan untuk membedakan dengan pemimpin sebelumnya. Juga, untuk memperkuat dukungan jika ia harus menjadi kepala daerah lagi. Atau untuk kepentingan politik lainnya.

Pemilihan langsung kepala daerah memang berbiaya mahal. Tapi, juga membuat mereka yang ingin memimpin berpikir keras menyenangkan publik. Agar mereka terpilih lagi atau punya legitimasi kuat.

Selalu saja terjadi dilema setiap pilihan sistem politik. Namun, pemilihan langsung bisa memantik kepala daerah untuk membangun kotanya. Apa pun motifnya. Termasuk motif politik.

Problemnya tinggal bagaimana terus menyadarkan pemilih untuk tidak transaksional dalam memilih pemimpin. Sebab, terlalu murah menukar suara dengan hanya sekantong sembako, tapi memilih pemimpin yang tak berkompeten.

Tidak hanya pemilih. Tapi, juga mendorong politikus kita tidak mengambil jalan pintas dengan mengandalkan transaksi ketimbang menyodorkan gagasan. Masih terlalu sedikit aktor politik kita yang mengandalkan gagasan sebagai modalnya.

Sebagian besar masih mengedepankan transaksi. Makanya, ketika gagal menawarkan gagasan, akhirnya sembako yang disebar. Itu tidak hanya terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Tapi, juga dalam kancah pertarungan kepemimpinan nasional.

Tampaknya masih dibutuhkan waktu untuk membangun peradaban demokrasi kita. Namun, berpikir bahwa pemilihan langsung lebih merusak adalah lebih jauh dari akal sehat. Sebab, dengan itu akan makin banyak lahir pemimpin yang lebih baik.

Atau setidaknya, dengan pemilihan langsung, akan tecermin tingkat peradaban politik pemilih dan para politikus kita. Masih dalam tahap pemilih emosional, pemilih transaksional, atau pemilih rasional. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait