Ferdinand

Sabtu 08-01-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Cara pandang Gus Dur terhadap gerakan Islam politik di Indonesia sering memicu kontroversi. Gus Dur dianggap berada pada sisi sekuler ketika berbicara mengenai hubungan negara dan agama. Dalam berbagai forum dan dalam tulisan-tulisannya, Gus Dur konsisten dengan sikap itu.

Pandangan-pandangan Gus Dur itu dikumpulkan dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (2000), berisi pendapat-pendapat Gus Dur yang ditulis di majalah Tempo dalam kurun waktu 1970 sampai 1980-an. Artikel itu membahas tema yang luas, mulai kemanusiaan, kebersamaan, keadilan, hingga demokratisasi.

Perbedaan budaya, agama, dan tradisi di Indonesia adalah sebuah anugerah sekaligus tantangan. Konsep beragama pun harus mengedepankan rasa toleransi antarumat beragama dan tidak saling merendahkan satu agama dengan agama lain.

Toleransi antarumat beragama menjadi polemik yang terus berlanjut sampai sekarang. Dalam artikel Gus Dur disebutkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa Natal bahwa umat Islam dilarang hadir dalam perayaan agama lain.

Fatwa itu menjadi persoalan yang cukup pelik sampai membuat Buya HAMKA melepaskan jabatannya sebagai ketua umum MUI. Sampai sekarang, setiap tahun, isu itu masih tetap menjadi perdebatan dan seolah tidak ada titik temunya.

 Melalui artikelnya, Gus Dur menyebutkan bahwa MUI harus bisa menemukan pangkal persoalannya, dengan memiliki pedoman terhadap persoalan-persoalan apa saja yang patut untuk menjadi wilayah bahasannya.

Gus Dur melihat masih banyak persoalan besar yang harus dihadapi umat Islam Indonesia, seperti pemecahan masalah kemiskinan dalam masyarakat menurut pandangan agama serta pengentasan kebodohan dan pemerataan pendidikan.

Problem kontemporer itu membutuhkan pemecahan agama secara kontekstual. Problem-problem pembangunan yang mendasar menjadi tantangan bagi Islam untuk memberikan solusi dengan semangat kemanusiaan dan mengedepankan kedamaian dan keamanan seluruh warga negara.

Pandangan Gus Dur yang sekuliristis itu menolak pembentukan negara berdasarkan sistem perundangan syariah. Itulah yang menjadi perdebatan panas sampai sekarang. Sejak zaman awal kemerdekaan perdebatan mengenai dasar negara Islam dan Pancasila menjadi tarik-menarik yang berkepanjangan.

Islam dan Pancasila selalu dipertentangkan meskipun sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sudah diterima sebagai landasan dari empat sila lainnya. Muhammad Natsir melihat Pancasila kompatibel dengan hukum-hukum Islam dan karena itu, hukum Islam harus menjadi spirit hukum di Indonesia. Kubu nasionalis tidak sependapat dan menghendaki agar agama dipisahkan dari negara.

Dalam salah satu artikelnya, Gus Dur berpendapat, Indonesia harus tetap mempertahankan lokalitas budayanya. Ia mengajukan konsep ”pribumisasi Islam” karena pada hakikatnya yang dipribumikan adalah manifestasi kehidupan Islamnya, bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya. Islam tetap Islam, di mana saja berada. Akan tetapi, tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya.

Konsep pribumisasi Islam menjadi kontroversi luas, termasuk di kalangan NU sendiri. Gagasan Gus Dur untuk mengganti ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi” ditentang secara luas. Salah satu ulama sepuh NU, KH As’ad Syamsul Arifin, bahkan menyatakan mufaroqoh alias berpisah dari kepemimpinan Gus Dur karena sebagai imam salat, Gus Dur sudah batal karena buang angin.

Gus Dur tetap Gus Dur dengan segala kontroversinya. Ia punya otoritas keilmuan dan legitimasi nasab yang kuat untuk memperjuangkan ide-idenya yang nyeleneh. Pandangannya mengenai Tuhan yang tidak perlu dibela sampai sekarang tetap kontroversial dan belum ada tokoh yang menyamai kaliber Gus Dur untuk mempertahankan pandangan itu.

Cuitan Ferdinand Hutahaean bisa mengungkit borok lama itu. Kali ini implikasinya bisa menjadi liar karena Ferdinand tidak punya otoritas yang mumpuni untuk mempertahankannya. Polisi harus bertindak cepat supaya dampak liar bisa diredam. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait