Keputusan studio membuat film bisu juga sangat riskan dan konyol di tengah gempuran film yang serba CGI dengan warna neon yang mengkilat. Tapi nyatanya The Artist terwujud juga dengan sukses. Bukan hal mudah meyakinkan para produser untuk menyetujui ide gila yang ditawarkan sang sutradara, Michel Hazanavicious.
’’Semua orang menertawakan saat saya menawarkan ide film ini,’’ kata Hazanavicious. Tapi memang saat itu masa kejayaan film-film bisu sudah berlalu lebih dari tujuh dekade. Pada akhir dekade 2000an, membuat film bisu adalah ide yang using. Baik secara komersial maupun estetis.
Bahkan jikalau berhasil diproduksi dan ditayangkan, dan kemudian hasilnya bagus, itu sudah sangat beruntung. Beruntungnya, The Artist lahir di dunia sinema Perancis. Yang bahkan film tentang seorang perempuan yang bercinta dengan mobil saja bisa terwujud. Tapi kalau di Hollywood, bahkan punya ide tentang itu saja takkan terbersit sama sekali.
The Artist melampaui segala ekspektasi siapapun. Produser, kritikus, bahkan para pemainnya. Pendapatan sebesar USD 133 juta (setara dengan Rp 19 triliun) dikantongi. Dengan biaya pembuatan tak sampai USD 16 juta (sekitar Rp 229,5 miliar), sudah lebih dari cukup untuk membungkam kekhawatiran pihak studio.
Bahkan memenangkan lima piala Oscar, termasuk Film Terbaik, adalah salah satu bentuk kekonyolan lain. Panitia Oscar bahkan mungkin kebingungan. The Artist yang notabene produksi Perancis biasanya masuk ke kategori Film Berbahasa Asing. Masalahnya, The Artist bahkan tidak memiliki bahasa sama sekali. Mau tak mau, The Artist masuk kategori utama Best Picture.
Karena sejatinya, sebuah film pada awalnya hanya sebuah gambar demi gambar yang digerakkan terus menerus menjadi sebuah gambar yang bergerak. Bahkan tanpa suara dan warna sama sekali. That’s what motion picture really means.
Awik Latu Lisan,
penikmat film