Darbe Wood, perusahaan kayu di Surabaya, resmi melantai pada 2019. Dengan kode saham KAYU. Sebagai UKM, tantangannya tidak mudah. Darbe kini menjadi ambassador Bursa Efek Indonesia untuk UKM.
---KIPRAH Darbe Group di kancah bisnis bermula sejak 1998. Dengan mendirikan usaha perdagangan kayu. Perkembangannya cukup cepat. Dalam rentang dua tahun, mereka sudah berhasil menembus pasar internasional.
Bisnis keluarga itu juga merambah ke sektor lain. Yakni, mendirikan usaha peternakan ayam dan ayam potong pada 2008. Kemudian, usaha kayunya baru dibakukan menjadi perseroan bernama PT Darmi Bersaudara pada 2010.
Seluruh produk kayu itu didominasi untuk pasar ekspor. Sekitar 90 persen dikirim ke India dan Nepal. Sisanya, 10 persen, untuk pasar domestik. Produknya berupa kusen pintu dan sejenisnya. Memakai kayu keras. Perusahaannya makin stabil. ”Tentu kami ingin berkembang lagi,” ujar Business Development Darbe Group Mochamad Ilham.
Darbe Group ingin kue bisnisnya lebih besar. Maka, diperlukan lebih beragam lagi instrumen pengembangan. Terutama soal permodalan. Akhirnya, untuk kali pertama mendorong perusahaan kayu itu masuk ke pasar modal melalui IPO. Tepat 9 tahun sejak berdirinya perseroan, yakni pada 2019.
Itu kisah manisnya. Sebenarnya banyak kisah pilu di bawah itu. Perusahaan tersebut jatuh bangun. Namun, berkat kegigihan kakak beradik, Abdul Haris Nofianto dan Nanang Sumartono Hadiwidjojo, perusahaan itu tetap bisa eksis.
Mengapa memutuskan IPO? Menurut Nanang yang menjabat direktur utama Darbe Wood, perusahaannya tidak punya aset yang menarik bagi perbankan. Perusahaan kayu tentu dianggap sebagai perusahaan yang tidak punya masa depan. Sulit bagi Darbe Wood mendapat pinjaman bank. Kalaupun dapat, nilainya tidak seberapa.
Mencari dana publik melalui pasar modal menjadi pilihan. Namun, perusahaan itu berkelas UKM atau small medium enterprise (SME). Tentu tidak mudah meyakinkan regulator bursa menerima mereka. "Persyaratannya banyak sekali. Kami butuh dua tahun untuk memenuhi semuanya. Mulai penataan organisasi, merapikan keuangan, dan sebagainya," kata pengusaha 51 tahun itu.
Kuncinya, kata Nanang, Darbe Wood terbuka kepada PT BEI. Apa adanya. Semua kondisi perusahaan dibeberkan. Biasanya, perusahaan yang akan go public mencitrakan perusahaannya mengilap. Namun, Nanang memilih memberikan data yang riil agar pihak BEI bisa memberikan saran dan masukan.
Belum lagi, kata Nanang, menghadapi ”buaya” di pasar modal. Yang dimaksud buaya itu adalah para pemain di pasar modal. Mereka ingin mengendalikan semuanya agar mendapat keuntungan besar. ”Saya pasrah saja. Kalau buaya itu mau makan kami, ya makan saja. Paling kualat. Kami ini UKM,” kata Nanang.
Singkat cerita, Darbe Wood berhasil tekan tombol di Bursa Efek Indonesia dengan nama saham KAYU. Mereka masuk di papan pengembangan. Setidaknya meski UKM tidak masuk papan akselerasi.
Hasilnya lumayan. Suntikan dana dari para investor mencapai Rp 22,5 miliar. Itu setara dengan 150 juta lembar saham. Pendanaan tersebut pun termanfaatkan dengan baik. Ekspansi bisnis mereka melejit.
Bahkan, tercatat pada November 2019 mencapai rekor. Pengiriman kayu tembus 100 kontainer dalam sebulan. Nyaris seluruh produk untuk pasar India. Tersisa 1 persen saja untuk pasar lokal.
Begitu juga dengan harga jual saham. Meningkat hanya dalam waktu 6 bulan. Dari Rp 150 menjadi Rp 560 per lembar. Namun, kejayaan itu tak berlangsung lama. Bisnis mereka terdampak pandemi Covid-19. Sebab, mengandalkan pasar luar negeri.
”India dan beberapa negara tujuan ekspor Asia Selatan di- lockdown . Kami tak bisa kirim lagi,” kata Ilham. Otomatis, target perusahaan tak tercapai. Ekspor benar-benar macet. Apalagi, harga sewa kontainer saat itu melangit. Harga jual saham Darbe Wood pun anjlok hingga Rp 50 per lembar.