Nasib Lebah di PBNU

Jumat 14-01-2022,04:00 WIB
Editor : Redaksi DBL Indonesia

BEGITU terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sehari sebelum Natal lalu, Yahya C. Staquf menyatakan bahwa NU tidak boleh terlibat politik praktis. Publik pun penasaran. Apa bentuk konkret dari pernyataan tersebut. Lebih tepatnya meragukan. Apa bisa NU tidak ”main-main” politik? Bukankah syahwat politik sebagian warga NU begitu besar.

Rabu, 12 Januari 2022, diumumkanlah susunan pengurus PBNU. Nama-nama politikus bertebaran. Ada Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (ketua), Wali Kota Pasuruan Saifullah Yusuf (sekretaris jenderal), Ketua DPP Partai Golkar Nusron Wahid (wakil ketua umum), dan Ketua DPD PDIP Kalimantan Selatan Mardani H. Maming (bendahara umum).

Mereka yang aktif sebagai pengurus partai politik tentu harus memilih. Menjadi pengurus parpol atau pengurus PBNU. Nusron dan Mardani harus segera mundur dari jabatannya di partai politik masing-masing.

Yang menarik, tidak ada tokoh PKB di susunan pengurus PBNU. Padahal, di periode sebelumnya, PKB menempatkan Helmy Faishal Zaini sebagai sekretaris jenderal. Di periode kali ini, struktur PBNU ”bersih” dari PKB. Tidak ada lagi ”sarang lebah” di PBNU. Lebah adalah identifikasi PKB sejak Muktamar V di Bali pada 2019. Sejak itu ada lebah yang bertengger di lambang PKB.

Bisa jadi tokoh-tokoh PKB sudah ditawari oleh Gus Yahya untuk masuk ke PBNU. Namun, tidak ada yang bersedia. Selain berat melepas posisi struktural di PKB, juga posisi yang ditawarkan di PBNU kurang menarik. 

Ada sih beberapa ”orang” PKB di sana. Tapi, bukan tokoh sentral seperti Helmy Faishal Zaini. ”Orang” PKB yang ada di PBNU saat ini, antara lain, Sayyid Muhammad Hilal Al Aidid  (wakil ketua) dan Abdussalam Shohib (wakil sekretaris jenderal).

Unsur Ciganjur juga ikut menentukan kepengurusan PBNU saat ini. Ada Sinta Nuriyah, istri almarhum Gus Dur yang menjadi mustasyar. Lalu, ada putri Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid, yang ditunjuk sebagai ketua PBNU. Kemudian, ada nama-nama yang merepresentasikan Ciganjur, yakni Choirul Sholeh Rasyid (ketua) dan Imron Rosyadi Hamid (Wasekjen).

Melihat struktur PBNU saat ini, agak sulit rasanya bagi PKB untuk ”bermanuver” menggunakan PBNU. Selama kepemimpinan Said Aqil Siroj, PKB benar-benar dimanjakan oleh PBNU. Sebagai anak kandung NU, apa pun yang dikehendaki PKB dituruti Kiai Said. Termasuk saat Presiden Jokowi akan memilih calon wakil presiden. NU dan PKB seiring sejalan kala itu.

PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar pernah punya masalah dengan beberapa tokoh di struktur PKB saat ini. Hubungan PKB dengan Ciganjur hingga kini belum cair. Luka akibat konflik PKB Ancol dan PKB Parung menjelang Pemilu 2009 belum sembuh. Keluarga Gus Dur belum bisa memaafkan Muhaimin. Melalui Imron Rosyadi Hamid, Ciganjur kerap ”menyerang” PKB. Terutama setiap menjelang pemilu.

Hubungan PKB dengan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa memang relatif tidak ada masalah saat ini. Namun, Khofifah juga ”korban” konflik PKB di masa lalu. Saat terjadi konflik antara kubu PKB hasil Muktamar Luar Biasa (MLB) Yogyakarta dan kubu PKB hasil Muktamar II Semarang. Saat itu, ketua Lembaga Pemenangan Pemilu (LPP) 2004 PKB tersebut terpaksa ”minggir” untuk menghindari konflik dengan Ciganjur.

Pada Pilgub Jatim 2018, PKB tidak mendukung Khofifah. Namun, itu bukan masalah besar. Setelah pilgub, komunikasi Khofifah dan PKB terlihat baik-baik saja. Namun, tentu saja Khofifah bukan sosok yang bisa mudah menuruti kepentingan PKB.

Sekjen PBNU Saifullah Yusuf yang mungkin bisa mengakomodasi kepentingan PKB. Meski Gus Ipul –sapaan Saifullah Yusuf– pernah juga berbeda kubu dengan Muhaimin, mereka sudah beberapa kali berkolaborasi. Pada Pilgub Jatim 2018, PKB mengusung Gus Ipul. Begitu juga saat Pilwali Pasuruan 2020.

Kini tidak ada PBNU di belakang PKB saat partai tersebut melakukan bargaining position dengan Jokowi. Saat PKB dan NU masih seia sekata, Jokowi ”sungkan” dengan PKB. Menyakiti PKB saat itu bisa membuat PBNU ikut terluka.

Kini situasinya berbeda. Sikap PKB dan PBNU bisa berbeda. Jokowi harus melakukan komunikasi politik terpisah dengan NU maupun PKB. Tidak bisa satu paket lagi.

Sebenarnya situasi seperti itu bukan hal baru bagi PKB. Di era PBNU dipimpin KH Hasyim Muzadi, sikap PBNU dan PKB juga kerap berbeda. Terutama sikap KH Aburrahman Wahid dan KH Hasyim Muzadi. Padahal, mereka berkantor di gedung yang sama, di gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta. Gus Dur di lantai 1 dan Hasyim Muzadi di lantai 3. Setiap ditanya wartawan tentang perbedaan itu, Hasyim Muzadi selalu menjawab dengan berkelakar. ”Saya memaafkan Gus Dur untuk semua hal di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang,” kata Hasyim saat itu.

Tags :
Kategori :

Terkait