Larung di sungai di daerah Singosari, Malang. Inilah kearifan lokal yang tidak bisa dijustifikasi sebagai syirik, sesat dan sebagainya. Sebab kearifan lokal itu adalah bentuk upaya masyarakat untuk membangkitkan energi positif air.
Ritual untuk mengasihi air, atau upaya membangkitkan energi positif pada air dilakukan menurut tradisi masing-masing daerah. Seperti Yongki dan kawan-kawan penggiat tradisi melakukan larung sesaji. Di Pantai Ngliyep, juga di Sungai Singosari, Malang, Jawa Timur.
”Kita tak bisa menjustifikasi kegiatan larung sesaji sebagai syirik, sesat dan sebagainya. Padahal, kearifan lokal itu adalah bentuk upaya masyarakat untuk membangkitkan energi positif air,” ujarnya.
Ia mencontohkan bahwa pada masa lalu orang sering melakukan tapa atau meditasi di bantaran sungai, tepi laut, atau bermeditasi sembari berendam.
”Suara aliran air, benturan antara air dengan dinding sungai atau tebing, menghasilkan bunyi yang membawa energi bagi ketenangan batin manusia,” terangnya.
Meski samar, air menghasilkan uap yang berisi ion positif yang kemudian dihirup oleh manusia. ”Itu bermanfaat bagi tubuh,” tambah budayawan 70 tahun itu.
Sebagian besar masyarakat Nusantara, khususnya Jawa, kerap memanfaatkan lokasi bertemunya dua arus sungai untuk dipakai mandi atau ritual-ritual tradisi. Pertemuan dua arus sungai itu disebut tempuran.
”Energi dua arus sungai yang bertemu dalam satu titik itu sangat besar dan positif. Seperti halnya tumbukan dua materi angkasa. Antara dua hawa yang berbeda menghasilkan halilintar,” ujar pria domisili Malang tersebut.
Maka, ritus untuk semakin menguatkan energi positif air kerap dilakukan masyarakat Jawa dalam tempuran.
Terapi paling baik menurut Yongki adalah memanfaatkan air pancuran. Entah dari sumber air, air terjun maupun pancuran alami lainnya. Sebab, energi ion positif yang dikandung masih murni dan tak terkontaminasi.
”Istilahnya mandi grojogan. Uap airnya sangat bermanfaat bagi kesehatan dan kesegaran tubuh. Kalau butuh referensi ilmiahnya, baca saja buku The True Power of Water,” ungkapnya.
Maka Yongki kerap mengajak kawan-kawan sesama budayawan untuk mandi di bawah air yang terpancar dari sebuah sumber air. Seperti kegiatan rutinnya yang dilakukan di grojogan Sumber Urip, Janti, Sumber Nagan, Malang, dan Candi Sumber Tetek di Dusun Belahan, Desa Wonosunyo, Kecamatan Gempol, Pasuruan.
Ia kerap bermeditasi dengan berendam, seperti yang dilakukannya di kolam Sumber Riwuk, Batu, Malang.
Masyarakat Jawa juga memiliki kebiasaan khusus terkait air yang dikonsumsi. ”Orang zaman dulu selalu meletakkan air di dalam gentong, kemudian didiamkan selama sehari penuh. Hal itu ada sisi ilmiahnya,” ujarnya.
Pendiaman itu biasanya dilakukan pada pukul 7 pagi dan baru boleh dikonsumsi pada pukul 7 pagi keesokan harinya.