Saling berkunjung ke rumah saudara yang lebih tua, kerabat, tetangga, atau siapapun yang dikenal. Berbalas-balasan mendoakan selamat tahun baru, banyak rezeki, usahanya lancar dan sebagainya.
Yang pasti dibarengi dengan tawa yang jadi pembuka, penyela, penutup perbincangan. Belum lagi hidangan yang berbagai macam mulai dari makanan utama, permen, manisan, buah, dan masih banyak macam yang lain.
Yang paling ditunggu adalah bagi-bagi angpao. Peraturannya yang boleh dapat adalah yang belum menikah. Berapa pun usianya. Jadi Imlek adalah momen jadi ’sultan’ dengan cara cepat.
Imlek adalah hari paling diidam-diamkan daripada 364 hari lainnya. Makan enak, angapo banyak, ketemu keluarga. Pokoknya tidak ada alasan untuk tidak bahagia di hari Imlek.
Namun semua itu berubah. Sejak Covid-19 datang. Tiba-tiba tidak bisa bertemu. Lockdown. Mobilitas sangat terbatas. Bahkan lebih aman di rumah.
Untungnya sudah ada teknologi yang bisa mengatasinya. Kalau sebelumnya dulu ketemu harus bertatap langsung, sekarang cuma bisa video call. Bisa pakai Zoom.
Lalu angpaonya? Tenang. Sekarang juga masyarakat mulai terbiasa mengeluarkan tanpa fisik. Sudah ada aplikasi e-wallet. Dompet virtual. Jadi angpao tinggal transfer, malah tidak perlu lagi menyiapkan amplopnya lagi dan juga tukar uang baru. Praktis.
Meskipun semuanya serba gampang, cepat, praktis, hemat. Namanya perayaan Tahun Baru Imlek ya pasti tetap merindukan bertemu secara langsung. Apalagi dengan keluarga yang sudah lama tidak ketemu. Mungkin juga dengan anggota keluarga baru. Calon menantu, keponakan baru lahir, atau keluarga dari luar negeri yang dalam tiga tahun belum tentu bisa datang.
Semua itu pasti tetap akan dirindukan oleh semuanya. Begitulah Imlek dirayakan pada umumnya di hampir seluruh belahan dunia ini.
Imlek di Hati
Tapi itu semua tidak dirasakan oleh semua orang Tionghoa. Ada bagian dari masyarakat yang harus mengubur keriuhan itu semua. Memang, kita tahu dalam kehidupan manusia di bumi ini ada yang memiliki peruntungan yang baik dan belum menemukan jalan rezekinya.
Jika warga Indonesia keturunan Tionghoa selalu diidentikan dengan pengusaha, pedagang sukses, rumah besar, mobil mahal, kehidupan mewah, bergelimang harta dan sebagainya.
Pada kenyataannya tidak seperti itu. Di Surabaya sendiri sebenarnya sangat mudah ditemui warga keturunan yang bisa menyeimbangkan stigma tersebut. Sederhana, biasa, seperti layaknya masyarakat normal lainnya.
Keluarga dari Oei Kim Hwa adalah salah satunya. Rumah tinggalnya di ujung Jalan Jagalan, Surabaya. Hanya selemparan batu dari Sekolah Sasana Bhakti.
Dia tinggal bersama suaminya yang berprofesi sebagai tenaga penjual alat-alat tulis, dan ketiga anaknya yang berusia 17 tahun, 12 tahun dan si bungsu 7 tahun.
Ibu paruh baya ini tinggal di Surabaya sejak 1990. Berarti sudah hampir 32 tahun. Rumah yang ditinggalinya dulu adalah tempat percetakan kalender Mandarin peninggalan dari keluarga suaminya.