Sebab, anak-anak atau bayi-bayi itu akan selalu mengingatkan ibu mereka terhadap peristiwa pemerkosaan yang mereka alami. Jadi, setiap mereka melihat bayi, langsung stres.
Di buku berbeda, karya G. Burkhardt, bertajuk: Sexual Violence-related Pregnancies in Eastern Democratic Republic of Congo: A qualitative analysis of access to pregnancy termination services (2016) menyebutkan:
"Bayi-bayi yang lahir hasil pemerkosaan di Kongo (Afrika Tengah) disebut bad blood." Yang, bayi-bayi itu dibuang (juga) oleh para ibu mereka.
Dituliskan: “Para ibu ini tidak tahu bagaimana memandang anak mereka, dan bagaimana memandang diri mereka sendiri. Mereka melihat anak mereka sebagai kotor atau buruk. Dan diri mereka sendiri sebagai rusak atau kotor. Atau sangat memalukan. Sedangkan, pada saat yang sama, mereka harus membentuk keibuan mereka.”
Masalahnya: Ambivalensi. Antara cinta (terhadap anak) dan benci (terhadap ayah bayi) dan perasaan bersalah (si ibu) pada saat yang bersamaan.
Beberapa ibu tidak tahan terhadap perilaku tertentu pada anak. Bahkan, untuk perilaku anak yang sangat sepele sekalipun. Misalnya, anak mengompol. Seketika itu juga ibu bisa langsung ingat pada ayah si anak. Maka, seketika itu juga cinta berubah jadi benci.
Kebencian ibu terhadap anak bakal lebih kuat jika si anak laki-laki. Sebab, itu makin dekat mengingatkan ayah anak tersebut.
Ketika ibu-anak itu bertambah tua, kebencian ibu terhadap anak kian kuat. Sebab, si anak mirip bapaknya. Yang memerkosa ibu, dulu.
Semua ortu pasti mencintai anak. Tapi, dalam hal ini, sangat berbeda. Ibu dalam beberapa saat bisa berubah drastis jadi benci ke anak. Kondisi psikologis yang tidak stabil itu berlangsung terus-menerus. Sampai salah satunya mati.
Jalan terbaik, menurut Burkhardt, anak-anak terlahir dari ibu korban pemerkosaan adalah diadopsi ortu lain. Atau dititipkan yayasan.
Keputusan Pengadilan Negeri Bandung terhadap terpidana Herry itu sudah tepat. Hakim mengatakan, keputusan tersebut berdasar hasil diskusi dengan para pakar psikologi dan parenting.
Dengan demikian, tidak berlebihan hakim menyebutkan, kejahatan Herry Wirawan sebagai the most serious crime.
Tak kurang, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendorong jaksa di perkara itu agar naik banding. Mendorong agar Herry dihukum mati sebagaimana tuntutan jaksa.
Pernyataan Ridwan (yang diisukan bakal maju sebagai capres di Pilpres 2024) itu, entah terkait citra politik atau bukan. Yang jelas, hukuman bukan sebagai balas dendam. Melainkan, bertujuan menimbulkan efek jera bagi calon pelaku kejahatan serupa.
Sementara itu, ketika vonis terhadap Herry dijatuhkan pada Selasa (15/2), kejahatan serupa diumumkan polisi.
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpada kepada wartawan, Selasa mengumumkan: