The Little Soeharto

Sabtu 19-02-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

BELUM ada tokoh di Indonesia atau negara lain yang mendapat julukan ”The Little Soeharto” alias Soeharto Kecil. Di Malaysia, Mahathir Mohammad sering disejajarkan dengan Presiden Soekarno dan mendapat julukan ”The Little Soekarno”.  Biasanya, orang Indonesia suka protes kalau ada propertinya yang dijarah Malaysia. Namun, ketika julukan The Little Soekarno dijarah Malaysia, tidak ada suara protes dari Indonesia.

Beberapa hari belakangan ini media sosial gaduh oleh unggahan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang memampangkan foto dua muka, separuh Soeharto dan separoh Joko Widodo. Foto itu menggambarkan dua sosok yang menjadi satu atau satu sosok yang punya dua sifat yang sama.

Narasi foto itu mencantumkan 10 kesamaan antara Joko Widodo dan Soeharto. Semua poin itu berfokus pada satu titik yang sama, yaitu kedua presiden tersebut sama-sama otoriter dan kebijakannya tidak kompatibel  dengan nilai-nilai demokrasi.

YLBHI berhenti sampai pada perbandingan itu saja dan tidak memberikan julukan kepada Jokowi sebagai The New Soeharto atau The Little Soeharto. Banyak pandit politik yang menyebut rezim sekarang ini sebagai neo-Orba alias Orde Baru baru. Namun, belum ada yang menjuluki Jokowi sebagai The New Soeharto atau The Little Soeharto.

Julukan tersebut tentu terasa sebagai julukan yang peyoratif atau merendahkan. Beda dengan julukan The Little Soekarno yang disandang Mahathir, yang terasa membanggakan. Sebenarnya, ada nuansa negatif juga dalam julukan yang disandang Mahathir itu, tetapi secara keseluruhan julukan tersebut memberikan reputasi positif kepada Mahathir.

Mahathir mendapat julukan itu karena sikapnya yang tegas terhadap Barat. Nasionalisme Mahathir sangat cadas sehingga terkadang dianggap chauvinistis dan agak ekstrem. Mahathir tidak pernah canggung membela bangsa Melayu bumiputra dengan berbagai kebijakan affirmative action yang tegas.

Mahathir tidak segan membuat kebijakan affirmative action yang memberi privilese kepada bumiputra untuk bisa bersaing dengan kelompok ras lainnya. Orang-orang bumiputra diberi kemudahan kredit usaha, beasiswa pendidikan, dan beberapa privilese sosial lainnya. Kebijakan itu dianggap diskriminatif, tetapi Mahathir tidak peduli.

Sikap Mahathir terhadap modal asing juga tegas. Malaysia adalah anggota negara persemakmuran di bawah Inggris. Malaysia pernah dijajah Inggris yang kemudian memerdekakannya. Secara historis dan kultural, Malaysia punya ikatan kuat dengan Inggris. Toh, hal itu tidak membuat Mahathir segan mengkritik bekas tuannya. Dalam banyak kesempatan, Mahathir bersikap tegas dan kritis terhadap Inggris.

Mahathir juga tidak takut berkonfrontasi dengan kekuatan besar lain, termasuk Amerika Serikat.

Langkah fenomenal Mahathir diambil pada saat krisis moneter 1997. Ketika itu IMF (Dana Moneter Internasional) memberikan resep liberalisasi ekonomi kepada semua negara Asia dan Amerika Latin yang sedang megap-megap oleh krismon. Resep umum IMF itu adalah liberalisasi perbankan dan keuangan dan swastanisasi perusahaan-perusahaan negara.

Indonesia menerima dengan takzim resep IMF itu. Direktur IMF Michel Camdessus berdiri sambil bersedekap menyaksikan Presiden Soeharto yang menandatangani traktat penyerahan kedaulatan kepada IMF. Lagaknya seperti penguasa VOC yang sedang menyaksikan penyerahan kekuasaan oleh raja Jawa.

Mahathir menolak resep IMF. Ia menggaungkan kembali jargon Bung Karno ”go to hell with your recipe”, pergilah ke neraka dengan resepmu. Malaysia memilih memakai resepnya sendiri untuk menyelesaikan krisis ekonominya. Terbukti, Malaysia bisa menyelesaikan krisis ekonominya dengan tuntas dan bisa move on sampai sekarang.

Indonesia yang menelan mentah-mentah resep IMF harus mengalami derita berkepanjangan dari krisis multidimensi itu. Krisis ekonomi berubah menjadi krisis politik yang dampaknya masih tidak bisa sepenuhnya hilang sampai sekarang. Soeharto mundur dengan mewariskan destabilitas sosial politik yang sampai sekarang masih terasa.

Tiga puluh tahun memimpin Indonesia, Soeharto menjadikan pembangunanisme sebagai legitimasi utama pemerintahannya. Soeharto sangat terobsesi oleh pembangunan dan melakukan apa saja demi memastikan pembangunan berhasil. Soeharto mendapat gelar ”Bapak Pembangunan”, sebuah gelar yang bersifat ”self-proclaimed” yang dibuatnya sendiri untuk diri sendiri.

Pembangunan membutuhkan stabilitas sosial dan politik. Sumber destabilitas politik adalah partai-partai politik. Soeharto kemudian melakukan rekayasa yang canggih untuk menjinakkan partai-partai politik. Dari puluhan parpol, Soeharto berhasil mereduksinya menjadi dua partai merger yang dipaksakan berdasar ideologi nasionalisme dan agama.

Tags :
Kategori :

Terkait