The Little Soeharto

Sabtu 19-02-2022,04:00 WIB
Editor : Yusuf M. Ridho

Atas nama pembangunan, Soeharto mengerahkan kekuatan ABRI untuk mengintimidasi dan merampas tanah rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang stabil selama puluhan tahun menjadi legitimasi utama Soeharto. Ia menjaga supaya pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 7 persen setiap tahun. Dengan stabilitas pertumbuhan itu, Indonesia masuk kategori ”Macan Asia” bersama Thailand, Singapura, dan Taiwan.

Bangunan yang diarsiteki Soeharto terlihat megah dan mewah, tapi ternyata fundamentalnya rapuh. Fondasi pembangunan ekonomi keropos karena banyak nepotisme, kolusi, dan korupsi. Bangunan sosial yang kelihatan indah dan menawan ternyata menyimpan borok yang mengerikan. Sebab, dibangun tanpa demokrasi dan hanya mengandalkan kekuatan represif yang mengintimidasi.

Soeharto sadar bahwa opini publik akan berpengaruh terhadap stabilitas. Maka, saluran utama opini publik dikontrol dengan ketat. Pers sebagai sarana pembentukan dan penyaluran opini publik dikendalikan dengan ketat.

Pembangunan tanpa demokrasi ala Soeharto terbukti rapuh. Selama ini selalu ada yang mempertentangkan antara demokrasi dan pembangunan. Demokrasi, katanya, tidak bisa membuat kenyang. Rakyat butuh nasi, bukan demokrasi.

Filsuf Inggris kelahiran India, Amartya Sen, mengingatkan bahaya pandangan itu. Sen menulis dalam Development as Freedom, demokrasi dan pembangunan harus berjalan seiring sejalan. Memprioritaskan salah satu di antaranya akan menyebabkan petaka.

Soeharto terbukti gagal karena memilih jalan pembangunan dan mengabaikan jalan demokrasi.

Jokowi tentu sudah tahu sejarah itu. Tapi, apakah Jokowi belajar dari sejarah Soeharto? Daftar 10 kesamaan Jokowi dengan Soeharto yang disodorkan YLBHI menunjukkan bahwa Jokowi memilih jalan yang kurang lebih sama dengan Soeharto.

Akankah Jokowi menjadi ”The Little Soeharto”? Sejarah yang akan menjawab. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait