Beberapa hari lalu para ibu pasti kecewa. Pasalnya, berangkat belanja untuk membeli tempe di pasar, namun mereka pulang tanpa membawa makanan tradisional berbahan kedelai itu ke rumah.
Diburu di tempat lain seperti di penjual sayur keliling dan warung pun tempe yang dimaksud tidak ditemukan. Ternyata itu karena pengrajin tempe tengah mogok produksi secara massal selama tiga hari berurut turut.
Terhitung Senin (21/2) hingga Rabu (23/2). Semua menyatakan stop produksi. Itulah bentuk protes terhadap realita tingginya harga kedelai impor yang menjadi bahan baku utama pembuatan tempe.
Bayangkan, harga kedelai impor yang semula hanya Rp8 ribu per kilogram, menjadi Rp 11 ribu ke atas. Dengan harga itu, sangat susah bagi pengrajin tempe untuk mendapatkan untung.
Protes mereka itu terpampang jelas dalam spanduk yang dibentangkan. Bahkan ada sweaping terhadap penjual yang nekat menjual tempe di pasar. Semua karena mereka hendak konsisten dengan kesepakatan untuk berhenti memproduksi selama waktu yang ditentukan.
Setelah kejadian itu, beberapa pengrajin tempe tampak mulai berproduksi lagi kemarin. Seperti di wilayah Krian, Sidoarjo. Itu karena ada subsidi dari seorang wakil rakyat. Ia menyuplai sebesar 9 ton kedelai impor.
Pengrajin disilakan membeli dengan harga Rp10 ribu per kilogramnya. Sisa harga sebesar seribu rupiah ditanggung oleh pemberi subsidi itu.
Sayang, kebutuhan pengrajin tempe lebih dari itu. Subsidi tersebut tentu tak mencukupi kebutuhan. Akankah ibu-ibu bingung lagi karrena tempe hilaang dari pasaran usai subsidi itu habis? (Boy Slamet)