MENTERI Agama Yaqut Cholil Qoumas membuat gebrakan lagi. Kali ini ia mengeluarkan surat edaran tata cara penggunaan pengeras untuk azan di masjid dan musala. Aturan itu sebenarnya sederhana, tapi menjadi sumber kontroversi yang luas dalam praktik beragama di Indonesia.
Pengeras suara menjadi salah satu indikator keberadaan masjid. Makin ramai pengeras suara, akan makin terdengar makmur masjid itu. Bagi umumnya warga yang tinggal di perkampungan yang padat, suara azan dan bacaan Al-Qur’an dari masjid di pagi hari menjelang subuh adalah hal yang biasa. Tapi, bagi sebagian lainnya, itu bisa menjadi gangguan dan dianggap sebagai polusi udara.
Sudah menjadi pendengaran yang jamak di setiap salat tiba akan terdengar kumandang azan bersahut-sahutan dari setiap pengeras suara di masjid. Dalam satu kampung bisa terdapat lebih dari satu masjid yang cukup berdekatan, jaraknya hanya puluhan meter.
Tradisi itu sudah berjalan lama, sejak sound system diperkenalkan di Indonesia pada 1970-an. Ketika itu tentu penduduk masih tidak sepadat sekarang. Pengurus masjid bisa mengoperasikan pengeras suara dengan leluasa. Seiring dengan perubahan zaman, penduduk kian padat. Wilayah kampung, yang dahulu hanya dihuni warga kampung, sekarang dikepung berbagai perumahan. Mulai kelas rumah sederhana sampai kelas realestat mewah.
Warga kampung, yang dulu menjadi tuan rumah, sekarang berubah menjadi minoritas yang dikepung berbagai kompleks perumahan. Perubahan sosial itu membawa perubahan kebiasaan.
Suara pengeras suara, yang dulu hanya didengar warga kampung, sekarang didengar warga yang lebih banyak. Kalau dulu warga kampung relatif homogen, saling kenal, dan menjadi semacam keluarga besar, sekarang berubah menjadi sangat heterogen dan lebih individualistis.
Pengeras suara di masjid tidak sekadar menjadi alat syiar azan ataupun pengajian, tetapi sudah menjadi alat komunikasi untuk mengumumkan berbagai persoalan warga. Misalnya, kalau ada warga yang meninggal dunia.
Tradisi itu menjadi tradisi masyarakat kampung yang menunjukkan kerekatan kekerabatan di antara mereka. Namun, setelah terkepung berbagai kompleks perumahan baru, kampung itu menjadi terisolasi dan teralienasi. Tradisi pengeras suara, yang dulu dianggap sebagai hal yang biasa, sekarang dianggap sebagai hiruk pikuk yang mengganggu.
Dialektika perubahan struktur masyarakat itu menimbulkan berbagai ketegangan. Masyarakat tradisional yang merasa terancam oleh kedatangan orang-orang baru kemudian menciptakan kelompok sendiri yang hidup di dalam sebuah enclave, ’wilayah tersendiri’, dan menciptakan identitasnya sendiri.
Warga asli yang tinggal di dalam enclave yang terkepung itu mempertahankan eksistensinya dari ancaman penetrasi budaya luar. Sementara itu, para pendatang juga mempertahankan privilesenya sebagai kelas menengah baru yang hidup di balik rumah berpagar tinggi menjadi kelompok ”gated community” masyarakat berpagar.
Kelompok itu tinggal di permukiman tertutup dalam kelompok sosial yang homogen dengan ruang publik yang diprivatisasi dengan membatasi akses melalui penerapan perangkat keamanan.
Sebagai makhluk sosial, manusia punya kecenderungan hidup berkelompok dan bergantung satu sama lain. Kecenderungan itu mendorong manusia membentuk beragam jenis persekutuan dalam masyarakat, mereka adalah himpunan manusia yang hidup bersama, memiliki hubungan timbal balik yang saling memengaruhi, serta punya kesadaran untuk saling menolong dan membutuhkan satu sama lain.
Ferdinand Tonnies (1855–1936) membedakan kelompok sosial berdasar sifat ikatan anggotanya menjadi gemeinschaft (paguyuban) dan gesselchaft (patembayan).
Kelompok patembayan dirumuskan untuk merujuk pada makna asosiasi. Patembayan adalah kelompok sosial yang ikatan antar anggotanya tidak terlalu kuat karena hubungan dan interaksi mereka terjalin dalam waktu singkat.
Dalam patembayan, struktur kelompok bersifat mekanis dan berpengaruh dalam hal pikiran saja. Hal itu membuat hubungan antaranggota kelompok patembayan cenderung bersifat formal dan lebih memperhitungkan nilai guna dari interaksi dan komunikasi yang terjadi.