Menolak Penyesalan Mendalam PM Belanda Atas Peristiwa 1945-1949 (4)

Sabtu 26-02-2022,04:00 WIB
Editor : Salman Muhiddin

Pekan lalu, serangan itu terasa sekali. Marjolein ingin mengunggah artikel opini yang dimuat di Jakarta Post ke platform Histori-Bersama. Tiba-tiba internet mati total berjam-jam. Saya mencoba banyak hal, tapi tidak bisa terhubung,” lanjut Pendiri Histori Bersama itu.

Pandangan Marjolein sulit masuk media massa Belanda. Tulisan yang dia kirim sering dianggap terlalu vulgar dan ekstrem. Terkadang dia merasa sedih. Padahal artikel itu terkait erat dengan proyek penelitian yang disponsori pemerintah dengan anggaran EUR 4,1 juta selama empat tahun. Dia ingin anggaran itu digunakan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan dengan Indonesia.

Penelitian itu syarat dengan kejanggalan. Penyandang dananya adalah Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH). Di bawah naungan kementerian pertahanan. Para peneliti yang terlibat bersikukuh bahwa mereka bisa bersikap independen. Tidak bisa dipengaruhi pemerintah. Marjolein melihat mereka bersikap sangat naif. Atau mungkin berpura-pura polos demi cuan.

Penelitian itu sebenarnya diikuti para peneliti lintas negara. Termasuk beberapa sejarawan Indonesia. Namun Marjolein melihat jumlah peneliti Indonesia yang terlibat tidak seimbang dengan peneliti Belanda. Suara dari Indonesia tidak mungkin didengar.

Keberadaan mereka dianggap cuma sebagai pelengkap. Yang penting ada orang Indonesia yang terlibat. Ternyata mereka cuma jadi pupuk bawang”.

Marjolein (tengah) dan Ady (kanan) mengunjungi apartemen Veteran Belanda Joop Hueting. Ia adalah tokoh dibalik terkuaknya kekejaman tentara Belanda di Indonesiaaat mengikuti Parade Juang 10 November di Surabaya. (Foto: Mameth Hidayat Rooderbug Soerabaja)

Marjolein juga sedih karena perjuangan membersihkan nama Belanda itu dianggap sebagai bibit permasalahan. Banyak pihak yang merasa takut mengakui kesalahan masa lalu. Penjajahan yang terjadi selama ratusan tahun tidak pernah disinggung dalam penelitian. Seolah-olah penjajahan dianggap hal lumrah. Kolonialisme Ducth East Indische tidak pernah masuk buku pelajaran Belanda.

Namun Marjolein tidak patah semangat. Pada 2017, Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy (dua orang Indonesia yang tinggal di Belanda) menulis surat terbuka kepada pemerintah Belanda. Mereka mengkritik pandangan dan pendekatan penelitian itu.

Marjolein yang pro kolonialisme itu mengajak segenap anggota Histori Bersama untuk membantu Jeffry. Bahkan dia membantu memperbaiki surat itu agar lebih bernas. Jurnalis, para peneliti, sampai netizen bisa mengunduh surat itu di website Histori Bersama dalam tiga bahasa (Inggris, Belanda, dan Indonesia).

Saat itu, mereka juga mengadakan Malam Protes” di Leiden. Gerakan itu rupanya membuat Marjolein semakin dibenci publik. Dia diboikot di mana-mana. Sedangkan para peneliti pro-pemerintah dapat ruang begitu bebas di media massa.

Artikel opini kami ditolak. Kami tidak diundang ke diskusi publik atau wawancara untuk menjelaskan sudut pandang kami,” keluh cucu Jan van Pagee itu. Jan adalah seorang Marinir dan pernah ditugaskan dalam upaya dekolonisasi 1947–1949 di Surabaya. Karena tidak mendengar banyak cerita dari kakeknya, Marjolein datang ke Indonesia pada 2010 untuk mengobati rasa penasarannya tentang hubungan Hindia-Belanda.

Marjolein merasa beruntung punya platform Histori Bersama serta media sosial yang begitu bebas dan global. Jika tidak Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram, kritik mereka pasti tak terdengar ke penjuru dunia. Namun, rupanya gerakan di media sosial itu juga hendak digembosi memakai serangan siber.

Jangan bersedih, Marjolein! Kami bersamamu menolak penjajahan di atas muka bumi. (Salman Muhiddin, bersambung)

 

Tags :
Kategori :

Terkait