Misalnya jalan bisa berwarna ocre digabungkan dengan cokelat. Ranting pohon yang berwarna kayu gelap dan terang sehingga terlihat kontras dengan warna langit.
Itulah sebabnya Hamid jarang melakukan on the spot ketika musim hujan. Ia selalu melakukannya ketika kemarau. Seperti terlihat dalam lukisannya berjudul Labang Bangkalan, Petani Tengger atau Kemarau Ujung Pangkah.
Dalam karya-karyanya, Hamid jarang mengusung pemandangan alam impresif yang mengandung hoki. Misalnya lukisan panen dengan padi menguning dan sebagainya.
Ia lebih suka melukis apa yang menurutnya indah. ”Saya melihat objek, jika saya merasa objek itu indah, saya akan melukisnya. Meski mungkin orang tak melihat bahwa objek saya indah,” ujarnya.
Hamid dengan tegas mengesampingkan selera pasar dan semacamnya. Baginya, melukis soal kepuasan batin. Laku atau tidak, ia tak peduli. Kegiatan melukis sama saja dengan berburu kepuasan. Juga ketika on the spot.
”Senang rasanya melihat pemandangan seperti bukit kapur di Madura, misalnya, ranting-ranting kering yang masih berdaun, serta bagaimana cahaya menyorot objek-objek tersebut,” terangnya.
Meski gairah seni rupa masa kini semakin berwarna dengan hadirnya gaya kontemporer, Hamid merasa bahwa impresionisme tak akan pernah mati. Sebab, lukisan-lukisan impresionisme, siapa pun pelukisnya, menawarkan hal yang unik dan masing-masing memiliki perbedaan.
”Misalnya lukisan impresionisme dari Indonesia, sangat berbeda dengan impresionisme Eropa. Sebab, cahaya atau kesan pencahayaan pada dua daerah tersebut berlainan," ujar pria kelahiran 15 Agustus itu.
Hamid mulai eksis dalam dunia seni rupa profesional pada tahun 1999. Ia menekuni impresionisme dan banyak mengumpulkan literatur-literatur terkait gaya tersebut.
Objek pemandangan musim kemarau, seperti hutan, sawah atau ladang, diilhami dari latar belakang pendidikannya. ”Saya alumnus UPN Veteran, jurusan Pertanian. Jadi saya sejak belia sudah bersentuhan dengan dunia sawah, ladang dan sebagainya,” ungkapnya.
”Lukisan impresionisme itu disebut juga lukisan light painting atau lukisan cahaya. Melukis, memburu cahaya. Apa yang ditangkap oleh mata kita adalah pantulan dari cahaya itu. Termasuk esensi dari suatu objek yang merupakan hasil dari tangkapan kesan cahaya,” ujarnya.
Kegemaran melukis serta kecintaannya dengan impresionisme membuat Hamid terinspirasi untuk menulis. Karena itu selain sebagai pelukis, Hamid menekuni dunia tulis-menulis. Ia pernah bekerja sebagai jurnalis. Bahkan eksis menulis hingga saat ini.
Salah satu bukunya tentang impresionisme berjudul Aku dan Impresionisme. ”Masih proses menulis. Dalam buku itu saya menguraikan sejarah, serta menyusun sebuah teori melukis impresionisme,” tuturnya.
Menurut Hamid, melukis impresionisme harus mengikuti kaidah-kaidah. Misalnya tidak boleh menggunakan warna hitam. Warna tersebut sangat dihindari karena bisa merusak estetika. ”Kalau benar-benar perlu baru pakai warna biru gelap, campur dengan hijau misalnya. Pokoknya jangan hitam,” terangnya.
Dengan impresionisme pelukis dapat menentukan faktor jarak. Misalnya satu objek ke objek lain. Caranya, adalah dengan memudarkan atau menggradasi warna untuk memberi kesan jauh. ”Maka, lukisan impresionisme pun harus mematuhi pada hukum perspektif. Bila kesannya berdistorsi, jadinya bukan impresionisme, melainkan ekspresionisme atau post-impresif,” ujarnya.
Untuk media warna, Hamid memiliki karya-karya bermediakan akrilik, cat minyak, dan cat air. ”Sekarang lagi gemar melukis impresionisme dengan cat air. Lebih susah daripada media lainnya karena cat air tak boleh salah. Tapi estetika cat air lebih kuat. Bagi saya, justru itulah tantangannya,” pungkasnya. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)