Pernah Ghalih mengajak para anggota bersepeda ke kawasan Surabaya Kota Lama di Jalan Gula. Ternyata banyak juga anggota yang belum tahu tentang kawasan bersejarah tersebut.
Ghalih pun harus menceritakan bahwa di bekas beberapa bangunan bersejarah yang banyak mangkrak itu pernah menjadi penanda penting gerak ekonomi Kota Pahlawan pada masa lalu.
”Pakoknya banyak banget pertanyaannya. Jadi kami pikir gowes ini bermanfaat banget untuk lebih mengenalkan orang Surabaya dengan kotanya,” ujarnya.
Meksipun serius, namun slogan mereka dalam menggowes sebenarnya sangat santai; ”20 persen gowes, 30 persen guyon, 50 persen makan”. Maksudnya lebih mengutamakan keguyuban antar-anggota.
”Kami lebih memikirkan interaksi yang terjadi selama gowes itu harus semakin mendekatkan satu sama lain, utamanya sesama warga Kaliasin,” terangnya.
Maka, gowes pun dilakukan dengan slow. Tak kesusu. Lebih sering beristirahat untuk bercanda dan makan bersama, sudahlah biasa. Jika ada sepeda yang rusak di tengah jalan, mereka pun ambil waktu untuk memperbaiki sampai selesai.
”Maklum karena semua menggunakan sepeda bekas ya. Biasanya kendala yang paling sering ditemui ada pada pancalan, setir yang kaku, atau kondisi remnya bermasalah,” bebernya.
Tapi tak perlu khawatir. Perlengkapan untuk memperbaiki sepeda selalu ada dalam acara gowes. Biasanya diletakkan dalam keranjang sepeda jengki milik salah satu anggota.
Prinsipnya, rute gowes tak dipatok dalam jarak yang jauh. ”Sebab anggotanya banyak yang sepuh. Biasanya komunitas-komunitas pesepeda kan sampai luar kota segala. Kami enggak biar adil untuk semua anggota,” ungkap pria asli kampung Tambak Mayor itu.
Terakhir pada Minggu, 6 Maret lalu, mereka gowes dengan tujuan Balai Kota Surabaya. Sempat mampir pula ke kantor Harian Disway di Jalan Walikota Mustajab 76. Sayang kantor sedang sepi.
”Tapi kami tetap beraksi, foto-foto di depan gambar Pak Dahlan Iskan. Saat itu beberapa anggota ya baru tahu lho kalau itu kantor Harian Disway. Saya bilang kalau dulu kantor itu juga galeri seni Emmitan Art Gallery,” ungkapnya.
Seperti komunitas lainnya, Sepeda Onthel Rombeng Pos 30 punya akun Instagram. Media sosial itu dibuat untuk menggungah semua kegiatan komunitas. Demi menambah kekompakan, dicetaklah banner yang harus selalu dibawa ke mana-mana. ”Itu properti utama untuk foto. Kami bentangkan banner tersebut setiap kali berhenti di sebuah tempat,” katanya.
Tak lupa membuat seragam komunitas biar makin guyub. ”Kami ingin mengadakan kegiatan tematik tentang sejarah Kota Surabaya yang diikuti banyak orang. Jadi kalau sekarang kami masih ber-15 dan hanya menghimpun warga Kaliasin, diharapkan kegiatan itu akan membuat orang Surabaya dari kampung lain mau bergabung,” pungkasnya. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)