Tidak Ada Penyesalan Tulus Jika Rezim Sama

Rabu 09-03-2022,08:36 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Unggahan foto Marjolein van Pagee saat menjadi peserta Parade Juang 2014 di Surabaya menuai pergunjingan dari publik Belanda. Dia memerankan Muriel Stuart Walker alias K’tut Tantri, plus berorasi di sebelah pemeran Bung Tomo yang dianggap Belanda sebagai penjahat perang. Ribut-ributnya sampai ditulis oleh seorang penulis esai lepas, Esther Wils melalui platform atheneum.nl. 

PARADE Juang itu terjadi 2014. Tulisan Esther yang menyindir Marjolein terbit dua tahun setelahnya: 18 Oktober 2016. Ternyata kontroversinya berkepanjangan dan terus diungkit. 

Esther sebenarnya tidak menulis khusus soal Marjolein di Parade Juang itu. Dia membuat ulasan berjudul Aceh Melalui Lensa Transkolonial dari buku Aceh: Kisah Datang dan Terusirnya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan karya Anton Stolwijk.

Perang Aceh (1873-1942) merupakan salah satu lembar terhitam dalam sejarah Belanda. Terjadi pembantaian masal muslim Aceh yang menelan 100 ribu korban jiwa, termasuk ribuan perempuan dan anak-anak Aceh.

Esther menulis bahwa kekerasan perang Belanda di Indonesia menjadi pokok bahasan yang selalu dikenang kembali oleh pers Belanda. Terutama tentang perang dekolonisasi: merebut kembali daerah jajahan.

Nah, dalam ulasan itu, dia menyindir Marjolein yang memiliki pandangan yang terlampau jauh tentang hubungan Hindia-Belanda: 

“Lihat, misalnya, artikel-artikel sederhana Marjolein van Pagee, yang menampilkan dirinya sebagai pembela bangsa Indonesia yang tertindas dan diberi ruang yang cukup di NRC dengan cerita-ceritanya yang ketinggalan zaman dan tidak tepat. Wartawan dengan gelar master sejarah ini tidak takut berpose dengan penjahat perang Sutomo (Bung Tomo) dan mem- posting foto di Facebook saat parade sejarah yang sangat populer di Indonesia (Parade Juang)”, tulis Esther.

Marjolein memang terkesan pro-Indonesia sejak 2010. Bahkan Marjolein tidak takut mengkritik negaranyi sendiri. Inilah yang membuatnya banyak mendapat penolakan dari Belanda. Bahkan, tulisannyi yang membela Indonesia sulit dapat akses ke media konvensional. 

Marjolein juga pernah diundang dalam Kick-off Dutch Research Project 14 September 2017. Riset itu dilakukan untuk menentukan sikap pemerintah Belanda atas pertempuran di Indonesia 1945-1949. Hasilnya sudah dipaparkan bulan lalu. Riset itu menjadi dasar Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan penyesalan mendalamnya untuk Indonesia.

Nah, saat penelitian mau bergulir, Marjolein diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya secara blak-blakan. Walau penelitian belum mulai, Marjolein sudah pesimistis dengan hasil penelitian itu.

“Marjolein, riset ini bahkan belum berjalan, dan engkau seolah-olah sudah tahu bahwa penelitiannya tidak akan berkembang,” ujar salah satu perempuan yang duduk di barisan depan penonton. Sepertinya dia adalah peneliti yang menjadi bagian dalam riset itu.

“Sebagai permulaan, pertanyaan tentang penelitian itu super penting,” jawab Master Program Studi Colonial-Global History di University of Leiden tersebut. Pertanyaan terbesar dalam penelitian itu adalah efek psikologis dari masa Bersiap, dan perilaku tentara Belanda. Bersiap adalah istilah yang dibuat Belanda untuk menyebut agresi militer (1945-1949).

Pihak yang kritis menyebut, ada pengerdilan objek penelitian yang dilakukan secara sengaja. Maklum yang mendanai penelitian itu adalah kementerian pertahanan. Netralitas peneliti diragukan.  

Dan itu terbukti saat hasil penelitian dipaparkan bulan lalu. Belanda cuma menyesal atas kekejaman ekstrem yang terjadi pada masa bersiap. Cuma itu. Mereka tidak minta maaf atas kesalahan yang lebih besar. Yakni penjajahan selama lebih dari 300 tahun. 

Sikap penonton dalam diskusi itu terbelah. Ada yang tepuk tangan ketika Marjolein menyampaikan fakta-fakta dan gagasannyi. Namun ada juga yang menganggap perempuan kelahiran 2 Mei 1987 itu sudah kelewat ngawur .

Dalam acara itu, dia mengakui telah meletakkan sisi emosionalnya. Sebab topik itu sudah ia dalami selama 7 tahun (2010-2017). Dan dia menemukan banyak hal baru tentang kekejaman era penjajahan yang tidak pernah diakui pihak Belanda itu. “Ya, tapi aku tidak takut. Emosi adalah bagian dari ini,” tegasnyi.

Tags :
Kategori :

Terkait