Tanpa Boneka Wayang, Musik Tetap Mengalun

Kamis 10-03-2022,11:59 WIB
Editor : Doan Widhiandono

Talenta seni para anggota Fu He An cukup komplet. Para dalang (sehu) tidak hanya bisa memainkan wayang potehi, mereka juga piawai bermain musik. Karena itu, di sela-sela tanggapan (undangan tampil) wayang, mereka juga bisa tampil khusus untuk bermain musik.

MALAM menjelang. Matahari terbenam. Kelenteng Tek Hay Kiong, Tegal, pun tenggelam dalam atmosfer syahdu. Harum pedupaan memenuhi pelataran kelenteng tua tersebut. Lampion merah bergerak-gerak halus dibelai angin di bawah langit yang mulai kelam.

Di salah satu ruang di bagian belakang kelenteng, Widodo Santoso bergegas. Ia membawa seruling bambu yang berwarna cokelat kehitaman. ’’Nanti main seruling ( dizi ) sama yangqin ,’’ ujar dalang asli Blitar tersebut.

’’Ini nanti seragamnya,’’ kata Widodo sembari mengulurkan beberapa baju berwarna oranye kepada empat kawannya: Asih Widodo, Untung Subroto, Slamet, dan Sudarmani. Empat orang itulah yang sebelumnya meriung berbincang-bincang di ruang yang mereka jadikan tempat istirahat tersebut.

Tanpa banyak cakap, mereka pun memakai kaus tersebut. Dengan membawa alat musik masing-masing, lima orang itu langsung menuju bangunan utama kelenteng. Mereka menata tempat di sisi kiri altar. Di pojok, dekat pintu masuk.

Tak seberapa lama, mengalunlah lagu-lagu pentatonis khas Tiongkok. Nada-nadanya seperti membawa orang terbang ke Negeri Panda tersebut.

Gesekan dawai jinghu dan er hu menyatu apik dengan denting yangqin , alat musik dengan banyak dawai yang dijuluki Chinese piano itu. Tabuhan gendang, ketukan kayu, dan simbal menjaga ritme lagu-lagu yang dibawakan kelompok Fu He An pada 14 Februari tersebut.

’’Sudah hafal di luar kepala, Mas,’’ kata Slamet yang terus-menerus mengawal irama dengan tabuhan gendang dan kayu itu. ’’Sudah tahu kapan mukulnya. Harus dijaga, biar nggak tabrakan dengan alat musik yang lain,’’ kata lelaki kelahiran 1965 tersebut.

Sejatinya, kelompok Fu He An melawat ke Tegal dalam rangka mementaskan wayang potehi. Juga untuk memeriahkan kirab Kongco Tek Hay Cin Jin, dewa tuan rumah dan dewa utama yang dipuja di kelenteng dengan arsitektur elok tersebut.

Tetapi, kirab tersebut batal. Tegal sedang terkena pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3. Kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kerumunan besar harus dihentikan. Apa boleh buat. Kongco, dewa pelindung perdagangan dan perjalanan laut tersebut, tidak jadi diarak mengunjungi lautan. Tetapi, doa-doa dan harapan untuknya tetap dipanjatkan oleh umat.

Karena itu, aliran umat yang bersembahyang pun seperti tak putus. Satu per satu, mereka datang, mengangkat doa bagi dewa junjungan tersebut.

Itulah tugas kelompok Fu He An: membawa suasana doa makin khidmat dan syahdu dengan alunan musik.

PARA SENIMAN dari kelompok Fu He An, dari kiri, Asih Santoso, Untung Subroto, Sudarmani, Widodo Santoso, dan Slamet. Lihatlah baju Widodo yang terbalik.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Tiba-tiba, permainan musik itu berhenti. Widodo berdiri sambil menahan tawa. Begitu juga dengan kawan-kawannya yang lain. Ada yang janggal dengan baju dalang berusia 50 tahun tersebut.

Baju itu terbalik! Bagian yang seharusnya menghadap punggung dipakai di depan. ’’ Mangkane kok gambarnya lain. Dipakai juga ndak enak,’’ ujar Widodo.

Tak mengapa. ’’Insiden’’ itu bisa dipakai untuk rehat sejenak.

Penampilan Fu He An malam itu sejatinya tidak untuk jadi tontonan. Mereka adalah pengiring agar suasana kelenteng—yang juga sedang menyongsong cap go meh —tidak terlampau sepi. Agar musik yang mereka bawakan semakin membuat umat terbawa suasana syahdu.

Tags :
Kategori :

Terkait